Tsunami yang terjadi di Selat Sunda pada tanggal 22 september 2018, terjadi akibat
longsoran dari Gunung Anak Krakatau. Pada kejadian ini banyak memakan korban
jiwa khususnya di wilayah Kabupaten Pandeglang. Oleh sebab itu maka perlu
dilakukan rekonstruksi tsunami untuk menanalisis risiko tsunami, agar nantinya
dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan mitigasi bahaya tsunami tersebut.
Rekonstruksi tsunami ini dilakukan dengan menggunakan simulasi model numerik
menggunakan software COMCOT (Cornell Multi-grid Coupled Tsunami Model).
Model numerik ini menggunakan data BATNAS dengan resolusi 180.22 m, dan
untuk data topografinya menggunakan data DEMNAS dengan resolusi data 8.33 m.
Untuk data variasi nilai Manning secara spasial bersumber dari data RBI (Rupa
Bumi Indonesia) yang dikonversi menjadi koefisien Manning dengan
menggunakan tabel koefisien Manning yang bersumber dari Wang et al (2011).
Model yang disimulasikan berjumlah 7 skenario model tsunami dengan paramater
longsoran yang berbeda-beda dan 2 skenario model inundasi dengan nilai Manning
yang berbeda. Parameter yang digunakan untuk skenario model tsunami yaitu
volume longsoran, sudut longsoran dan durasi terjadinya longsoran. Untuk skenario
model inundasi yang berbeda yaitu nilai Manning yang seragam dan nilai Manning
yang berbeda sesuai pengguanaan lahan. Hasil model divalidasi menggunakan data
survey lapangan yang berupa data tinggi inundasi dan data elevasi muka air yang
didapat di 4 lokasi stasiun BIG. Dari ke 7 skenario model, didapati bahwa skenario
LS07 dengan volume 0.326 km3, sudut longsoran 8.20, dan durasi longsoran 420 s
merupakan skenario terbaik dengan nilai akurasi model 97.228%, dan dengan
waktu tiba hasil simulasi sesuai dengan waktu tiba tsunami yang terdeteksi oleh
stasiun elevasi muka air BIG. Pada penelitian ini dilakukan juga sensitifitas model
terkait parameter; panjang massa yang tergelincir, nilai Manning, jarak antara awal
dan akhir longsoran, dan sudut longsoran. Perbedaan panjang masa yang tergelincir
300 m lebih pendek, menghasilkan tinggi tsunami yang lebih tinggi, dengan nilai
maksimum perbedaan tinggi tsunami rata-rata dari setiap stasiun 0.18 m. Nilai
Manning 0.013 memiliki tinggi tsunami lebih tinggi dibandingan dengan nilai
Manning 0.026, dengan nilai maksimum perbedaan tinggi tsunami rata-rata dari
setiap stasiun 0.20 m. Jarak longsoran 485 m lebih panjang, menghasilkan tinggi
tsunami yang lebih tinggi, dengan nilai maksimum perbedaan tinggi tsunami ratarata
dari setiap stasiun 0.19 m. Sedangkan untuk perbedaan sudut longsoran 2.30
tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Dari hasil simulasi tsunami pada menit ke
30, pola gelombang tsunami di Selat Sunda sudah cukup kompleks, gelombang
merambat ke berbagai arah dari interaksinya dengan batimetri, garis pantai, dan
pulau-pulau lain. Pola ini akan menjadi lebih kompleks seiring bertambahnya waktu
karena pantulan gelombang ganda lebih lanjut di dalam Selat. Daerah yang paling
tinggi gelombang tsunaminya yaitu daerah Tanjung Lesung dengan tinggi
gelombang tsunami mencapai sekitar 7 m, dan untuk daerah Carita dan Labuan
tinggi gelombang tsunami mencapai 5 - 6 m. Sedangkan untuk daerah Panimbang
tinggi gelombang tsunami sekitar 2 m. Dari 2 skenario model inundasi, didapati
bahwa skenario I01 dengan nilai Manning yang bervariasi spasial merupakan model
terbaik dengan akurasi model sebesar 95.39%. Dari hasil analisis risiko tsunami
didapatkan, daerah Tanjung Lesung merupakan daerah yang paling luas terdampak
bencana tsunami dengan total luas area yang terdampak 3.225 km2, dengan luas
risiko tsunami tingkat 1 yaitu 0.494 km2. Untuk daerah Carita, Labuan dan
Panimbang memiliki luas risiko tsunami tingkat 1 seluas 0.176 km2, 0.093 km2, dan
0.017 km2. Sedangkan untuk total area yang terendam untuk daerah Carita, Labuan
dan Panimbang yaitu seluas 1.969 km2, 2.154 km2, dan 1.448 km2.