Lanskap kerap dirujuk menjadi jembatan untuk mengenal seni rupa, terutama
mengenai proses pengamatan dan pencarian keindahan akan obyek alam. Gagasan
lanskap yang dikenal secara umum di Indonesia berakar dari tradisi seni lukis
Barat, mempengaruhi bagaimana obyek alam dipersepsi sebagai yang terpisah
dari dunia manusia. Proses penciptaan seni ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran dialog diri dengan ruang untuk melahirkan interpretasi subjektif
mengenai alam.
Penulis menggunakan konsep serta metode penciptaan citraan lanskap seni rupa
Barat yaitu lewat menangkap aspek menyublim pada pengalaman pengamatan
langsung akan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Sikap aposteriori berperan
besar dalam proses penciptaan. Kesubliman ditemukan di luar cara representasi
dan pemilihan obyek dalam tradisi representasi lanskap, yaitu dalam
pemandangan sehari-hari emisi karbon di cekungan Bandung serta perubahan
lanskap di sekitar. Penulis memandang alam sebagai konstelasi obyek alamiartifisial,
dan sebab akibat dari hubungan antar obyek di dalamnya.
Dalam proses penciptaan, sikap aposteriori memperluas pilihan estetik, artistik,
material, dan narasi karena merespon obyek pengamatan yang spesifik. Media
assemblage digunakan untuk menyampaikan materialitas dan keterkaitan obyek
dalam lanskap; berupa rangkaian obyek alami seperti kayu dan daun yang
direkayasa, serta benda-benda readymade yang merepresentasikan lanskap yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari. Penulis menemukan proses kelantang
(bleaching) dalam rekarayasa obyek alami sebagai idiolek yang berulang, dimana
penulis cenderung menghilangkan warna dalam obyek karyanya. Menghilangkan
warna menjadi idiolek artistik khas penulis, yang dalam proyek ini dimaknai
sebagai ambigunya waktu, identitas, dan hidup-mati sebagai aspek perubahan
dalam lanskap.