Indonesia hingga saat ini masih menggunakan aspal sebagai material yang
digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan. Menurut data Dirjen Bina
Marga KemenPUPR, hingga tahun 2019 kebutuhan aspal mencapai 1,3 – 1,5 juta
ton/tahun dimana 70%nya masih mengandalkan impor. Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengatasi impor tersebut adalah dengan pemanfaatan Reclaimed
Asphalt Pavement (RAP) atau limbah dari perkerasan jalan lama dan pemanfaatan
sumber daya alam yang ada di Indonesia secara optimal yaitu Asbuton. Dalam
penggunaannya, baik RAP maupun Asbuton, khususnya Asbuton butir (ASB)
memerlukan bahan peremaja (rejuvenator/modifier). Hanya saja hingga saat ini,
bahan peremaja yang digunakan di Indonesia masih mengandalkan bahan peremaja
impor, sehingga pemanfaatan RAP maupun ASB dianggap belum efektif dalam
mengatasi pemenuhan kebutuhan aspal dalam negeri. Untuk itu perlu ditemukan
suatu bahan peremaja lokal untuk mengefektifkan penggunaan RAP dan ASB.
Bioaspal sebagai aspal yang yang dihasilkan dari bahan non makanan (residu
pertanian dan limbah perkebunan) atau biomassa yang mengandung lignin, dimana
salah satu fungsinya dapat digunakan sebagai bahan peremaja. Salah satu biomassa
yang mengandung lignin yang banyak ditemui di Indonesia adalah limbah
tempurung kelapa, dimana setiap tahunnya mencapai 360 ribu ton. Dengan
kandungan lignin 29,4%, tempurung kelapa dianggap memiliki potensi yang cukup
besar sebagai bahan peremaja lokal. Untuk menguji potensinya, bioaspal
tempurung kelapa (BTK) perlu diuji kinerjanya sebagai bahan
peremaja/rejuvenator untuk campuran beraspal yang mengandung RAP dan
sebagai modifier untuk campuran beraspal yang mengandung ASB berdasarkan
kriteria ketahanan campuran beraspal terhadap fatigue.
Bioaspal yang digunakan pada penelitian ini adalah BTK dan BitutechRAP (BT)
sebagai pembanding. Penggunaan bioaspal sebagai bahan peremaja pada penelitian
ini ditinjau dengan menambahkan bioaspal pada aspal RAP dan pada aspal Asbuton
B 50/30 (ASB) dengan melihat karakteristik aspal sebelum dan sesudah
ditambahkan bioaspal berdasarkan pengujian struktur kimia menggunakan FTIR
(Fourier transform infrared spectroscopy), morfologi aspal dengan SEM (Scanning
Electron Microscope) dan EDX (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy), reologi
aspal, dan reologi mekanistik aspal dengan DSR temperature sweep dan frequency sweep. Penggunaan bioaspal juga diteliti dengan melihat pengaruhnya sebagai
rejuvenator/modifier terhadap campuran beraspal panas AC-WC yang
mengandung RAP dengan variasi jumlah RAP : 10%; 20%, dan 30%, serta
campuran AC-WC yang mengandung ASB dengan variasi ASB : 7%; 11%, dan
15%. Pengujian campuran beraspal dilakukan dengan uji marshall, modulus
resilien (Smix) menggunakan alat UMATTA pada kondisi KAO yang hasilnya
kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan model Nottingham dan Shell
serta pengembangan model Smix. Peninjauan terhadap ketahanan fatigue dilakukan
dengan menggunakan alat Four Point Bending Test (4PBT) pada kondisi KAO
yang hasilnya kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan model Shell dan
model Austroad serta pengembangan model ketahanan fatigue (Nf).
Hasil penelitian bioaspal terhadap RAP menunjukkan: 1). Berdasarkan
karakteristik aspal, bioaspal (BTK dan BT) dapat dijadikan bahan peremaja untuk
aspal RAP, performa aspal RAP dapat mencapai performa aspal pen 60/70 dengan
kadar 23% BTK dan 17% BT terhadap berat aspal RAP; 2). Berdasarkan
karakteristik campuran beraspal AC-WC, penambahan bioaspal sebagai
modifier/bahan peremaja pada campuran yang mengandung RAP hingga 30%,
dapat menghasilkan nilai KAO yang memenuhi kriteria campuran AC-WC, hal
tersebut menunjukkan bahwa bioaspal dapat meremajakan aspal RAP; 3).
Berdasarkan pengujian Smix, kinerja kedua bioaspal pada ACWC+
Bioaspal+RAP, ditunjukkan dengan dihasilkannya Smix walaupun jumlah
RAP bertambah, hal tersebut menandakan adanya peremajaan dari aspal RAP
sehingga terjadi ikatan antara bitumen dengan agregat campuran; 4). Berdasarkan
umur fatigue, kedua bioaspal menghasilkan campuran AC-WC yang mengandung
RAP dengan umur fatigue yang lebih panjang bila dibandingkan dengan AC-WC
kontrol.
Hasil penelitian bioaspal terhadap ASB menunjukkan: 1). Berdasarkan
karakteristik aspal, bioaspal (BTK dan BT) dapat dijadikan modifier untuk aspal
ASB, performa aspal ASB dapat mencapai performa aspal pen 60/70 dengan kadar
6,5% BTK dan 8% BT terhadap berat aspal ASB; 2). Berdasarkan karakteristik
campuran beraspal, hanya BTK yang dapat digunakan sebagai modifier pada
campuran AC-WC yang mengandung ASB hingga 15% yang ditunjukkan dengan
dihasilkan nilai KAO yang memenuhi kriteria campuran AC-WC Spesifikasi
Umum Jalan dan Jembatan Bina Marga 2010; 3) Berdasarkan pengujian Smix pada
campuran AC-WC+BTK+ASB menggunakan UMATTA menghasilkan nilai Smix
meskipun jumlah ASB bertambah, hal tersebut menunjukkan bahwa BTK dapat
digunakan sebagai modifier; 4) Berdasarkan pengujian marshall dan UMATTA,
diketahui bahwa perancangan campuran yang paling baik untuk
ACWC+BTK+ASB adalah perancangan 2 dengan kadar ASB optimum 7% dan
kadar bioaspal 25% terhadap berat ASB; 5) Berdasarkan uji ketahanan fatigue,
campuran AC-WC+BTK+ASB memberikan umur fatigue yang lebih panjang
dibandingkan dengan AC-WC kontrol.
Model Smix dan Nf untuk setiap campuran adalah 1). AC-WC+BTK+RAP, Smix
merupakan fungsi dari Sbit, Tuji, VMA, dan RAP dengan adj R2 = 0,97 dan model
Nf merupakan fungsi dari Smix, strain, dan RAP dengan adj R2 = 0,87; 2). AC-WC+BT+RAP, Smix merupakan fungsi dari Sbit, Tuji, VIM, dan RAP
dengan adj R2 = 0,93 dan Nf merupakan fungsi dari Smix, strain, dan RAP dengan
adj R2 = 0,88; 3). AC-WC+BTK+ASB, Smix merupakan fungsi dari Sbit, Tuji,
VMA, dan RAP dengan adj R2 = 0,97 dan Nf merupakan fungsi dari Smix dan
strain dengan adj R2 = 0,69, dengan tingkat kepercayaan 95% (? = 0,05).
Batasan model prediksi modulus resilien adalah nilai minimum kekakuan aspal
sebesar 5 MPa, jumlah maksimal RAP 30% dan ASBUTON B 50/30 15% terhadap
berat campuran beraspal, persentase BTK 23%, BT 17% terhadap berat aspal RAP
dan BTK 25% terhadap berat ASB, nilai smix yang diperoleh dari alat uji
UMATTA dengan loading pulse width 250 ms dan pulse repetition 3000 ms.
Batasan model prediksi ketahanan fatigue adalah pengujian dilakukan dengan
4PBT, regangan terkendali antara 300 ?? hingga 500 ??, temperatur 20 °C, Smix
berdasarkan uji lab untuk campuran dengan RAP dan berdasarkan model Smix
untuk campuran dengan ASB.