digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pandemi Covid-19 telah mengubah hampir semua ibadah raya umat bergama yang dalam menggunakan ruang ibadah mereka di seluruh dunia. Namun, bagaimana kondisi pelaksanaan ibadah massal setelah pandemi ini masih belum mencapai kesimpulan apa pun, karena masih menjadi perdebatan cara mana yang lebih efektif dalam pertumbuhan spiritual umat dan dalam pengembangan komunitas, baik secara pertemuan onsite, online, atau hybrid. Oleh karena itu, pencarian alternatif cara beribadah ini perlu dikaji lebih lanjut. Penentuan bagaimana reaksi jemaat terhadap setiap ruang ibadah yang digunakan diukur dari keterikatan psikologis mereka terhadap setiap ruang. Oleh karena itu, untuk mengetahui betapa dalamnya keterikatan mereka, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif fenomenologis untuk mengetahui bagaimana mekanisme jemaat dalam menentukan tempat ibadah mana yang akan mereka gunakan. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis fenomenologi interpretatif (IPA) dengan sudut pandang Benner, dengan mempertimbangkan sensitivitas dan sensibilitas permasalahan yang diteliti. Metode analisis akan menemukan pola pemikiran para informan dalam mengelola ruang ibadah pada tiga era, yaitu sebelum pandemi, masa pandemi, dan pasca pandemi. Tiga informan yang dipilih secara purposive sampling diambil untuk mendapatkan wawasan dari para pelaku utama dalam organisasi yang menjadi sasaran. Untuk memperoleh data yang dapat diandalkan, hasil wawancara akan didukung oleh dokumen-dokumen sejarah yang terkait. Dari pengumpulan data dan analisis, ditemukan bahwa kesadaran kolektif yang dialami oleh jemaat memang berbeda-beda di setiap ruang tempat ibadah raya dilaksanakan, di mana lebih negatif terjadi di ruang online dibandingkan ruang di secara onsite. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ibadah secara onsite saat ini belum dapat tergantikan oleh layanan online atau hybrid, terutama di Indonesia yang memiliki tingkat kolektivisme yang tinggi. Ada beberapa strategi yang dimunculkan untuk mengefektifkan ibadah raya keagamaan dan menjaga organisasi tetap bertahan di era disruptif. Pertama adalah penyederhanaan tujuan dan sistem struktural. Kedua, memanfaatkan ruang doa. Ketiga, memastikan bahwa organisasi keagamaan tetap pada akarnya dalam pembentukan spiritual. Perlu dicatat juga bahwa organisasi perlu aktif dalam mencari solusi kreatif dan efektif untuk membantu jemaat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan rohani mereka, sehingga dapat membentuk efek simbiosis antara organisasi dan jemaat. Hasil penelitian ini mungkin dapat diterapkan pada organisasi serupa, yaitu gereja Kristen, yang penganutnya adalah terbesar kedua di Indonesia. Apalagi jika menyangkut pengelolaan kepemimpinan yang jumlah anggotanya minimal ribuan orang, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi mengingat praktik pengumpulan massa juga menyangkut kebijakan pemerintah dan kepentingan masyarakat luas.