Periode aktif monsun merupakan salah satu fase penting dalam siklus hidup
monsun, namun belum didefinisikan secara operasional oleh Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Namun demikian, awal musim hujan
merupakan salah satu produk operasional BMKG, yang ditentukan secara lokal
berdasarkan kriteria akumulasi curah hujan selama sepuluh hari. Pada penelitian
ini, dikembangkan metode penentuan periode aktif monsun dengan
menggabungkan kriteria curah hujan lokal dan sumber kelembapan regional.
Sumber kelembapan regional terlebih dahulu dianalisis secara klimatologis dengan
menerapkan analisis harmonik dan memilih bulan dengan curah hujan maksimum
dari siklus tahunan. Sumber transpor kelembapan kemudian diidentifikasi dari hasil
analisis backward trajectory menggunakan model Hybrid Single-Particle
Lagrangian Integrated Trajectory (HYSPLIT). Sumber kelembapan dominan
kemudian digunakan sebagai kriteria monsun aktif; kriteria tambahan curah hujan
lokal ditentukan sebagai curah hujan rata-rata pentad yang melebihi ambang batas
dengan nilainya tergantung pada data yang digunakan.
Metode ini diterapkan untuk menentukan periode aktif monsun di Pulau Jawa
dengan puncak curah hujan bulanan pada bulan Februari (Region A). Ditemukan
bahwa periode aktif monsun di Region ini ditandai oleh sumber kelembapan
dominan dari Samudra Hindia (IO) (29,4%) dan benua maritim utara (NM)
(25,4%), sedangkan ambang batas curah hujan lokal rerata adalah 7 mm
(berdasarkan data reanalisis ERA5). Hasilnya menunjukkan bahwa periode aktif
monsun dapat diidentifikasi sebagai pentad berkesinambungan. Namun, terdapat
beberapa pentad dengan hanya satu kriteria yang terpenuhi. Analisis komposit
menunjukkan bahwa kasus-kasus ini mungkin terjadi akibat kondisi yang terkait
dengan variasi intraseasonal, seperti monsun break, MJO, dll. Penerapan metode
ini ke region lainnya masih terbatas pada identifikasi sumber kelembapan.
Ditemukan bahwa, secara umum NM memberikan kontribusi signifikan terhadap
sumber kelembapan selama periode aktif monsun di Indonesia, namun ada
perbedaan kontribusi sumber dari wilayah lainnya. Namun demikian, metode yang
dikembangkan dalam penelitian ini menjanjikan sebagai cara baru untuk memantau
onset monsun, setidaknya di Region A.