2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-COVER.pdf
2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-BAB1.pdf
2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-BAB2.pdf
2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-BAB3.pdf
2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-BAB4.pdf
2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-BAB5.pdf
2007 TA PP DWI INDAH WIDANINGRUM 1-PUSTAKA.pdf
Abstrak:
Permasalahan kebutuhan lahan untuk perumahan sering dikaitkan dengan keterbatasan lahan. Seiring dengan itu, semakin terbatasnya lahan membuat harga lahan menjadi meningkat, terutama di pusat kota. Dengan keterbatasan lahan tersebut, pembangunan perumahan vertikal merupakan alternatif untuk dikembangkan karena lebih minim dalam hal penggunaan lahannya. Oleh karena itu pembangunan hunian vertikal seperti rumah susun merupakan salah satu rencana strategis baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Hal ini tercermin dalam rencana strategis percepatan pembangunan rumah susun di beberapa kota besar di Indonesia, salah satunya adalah di Kota Bandung. Berdasarkan studi yang pernah ada (Zikriyyah, 2006), disebutkan bahwa pembangunan rumah susun yang ada tidak sesuai dengan sasaran penghuni yang ditetapkan. Dalam hal ini pengertiannya, sasaran penghuni rumah susun adalah masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi pada kenyataanya rumah susun yang ada dihuni oleh masyarakat yang bukan masyarakat berpenghasilan rendah. Kemudian disebutkan bahwa rumah susun yang ada dianggap terlalu mahal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini terjadi karena pembangunan rumah susun dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah semata, dan kurang memperhatikan kemampuan dan kesediaan dari masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan rumah susun. Dengan adanya rencana pembangunan rumah susun lain di Kota Bandung dikhawatirkan akan terjadi fenomena yang sama dengan rumah susun yang ada saat ini. Oleh karena itu, dalam penelitian tugas akhir ini dilakukan kajian mengenai tingkat kemampuan dan kemauan membayar golongan masyarakat berpenghasilan menengah rendah dalam memperoleh kepemilikan rumah susun di Kota Bandung, dengan mengambil kasus di kelurahan yang menjadi rencana lokasi pembangunan rumah susun yaitu kelurahan Tamansari.
Hasil studi terhadap ATP dan WTP untuk rumah susun Tamansari hanya 33persen responden yang bersedia tinggal di rumah susun. Alasan kesediaan tinggal di rumah susun dikarenakan lingkungan menjadi lebih tertata rapih, kemudian memiliki kekuatan atau dasar hukum yang jelas, dan dapat tetap tinggal di lokasi yang strategis. Selanjutnya bagi responden yang tidak bersedia tinggal di rumah susun dikarenakan responden menganggap rumah susun memiliki tingkat privasi lebih kecil daripada rumah biasa. Kemudian hal yang paling menjadi alasan utama tidak bersedia pindah ke rumah susun adalah responden harus memulai beradaptasi lagi terhadap lingkungan yang baru. Selain itu rumah susun di anggap mahal dan tidak nyaman bagi responden.
Sebagai kesimpulan untuk pengadaan rumah susun di Tamansari sebaiknya dilakukan pertimbangan kembali untuk saran penghuni rumah susun yaitu masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini terkait dengan kemampuan dan kesediaan untuk membayar dan tinggal di rumah susun. Pertimbangan ATP dan WTP perlu diperhatikan supaya program pembangunan rumah susun lebih tepat sasaran dan lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.