Maraknya penyelenggaraan pameran internasional dan forum diskursif seni rupa kontemporer di
negara-negara Selatan Global (Global South) dapat dilihat sebagai salah satu arus dominan dalam
sirkuit seni rupa kontemporer internasional dewasa ini. Menurut Smith (2019), arus ini muncul
dari proses dekolonisasi di negara dunia keempat, ketiga, dan kedua, termasuk efek dekolonisasi
di negara dunia pertama. Ia berargumen, ‘tikungan transnasional’ (transnational turn) di tahun
1990-an hingga dekade awal abad ke-21 sebagai titik penting dari kemunculan arus ini, seiring
perubahan geopolitik dunia setelah berakhirnya Perang Dingin pada 1989 yang telah menyebabkan
pergeseran transisional mengenai konsep bangsa. Ditandai oleh munculnya biennale-biennale
yang berkembang biak, dengan efek mendalam dan berkepanjangan di pusat-pusat metropolitan
modern, Smith menyebut seni rupa kontemporer saat ini adalah seni rupa dari Selatan Global.
Membaca fenomena ini, menarik untuk memeriksa kembali secara historis bagaimana diskursus
seni rupa kontemporer dari negara-negara Selatan Global ditawarkan oleh Pameran Seni Rupa
Kontemporer Negara-Negara Non-Blok 1995 (selanjutnya: Pameran GNB). Pameran internasional
yang berlangsung di Gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(kawasan Galeri Nasional Indonesia kini) pada 28 April - 30 Juni 1995 ini dihelat pada tahun
terakhir kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai Ketua Jenderal GNB (1992-1995), yang
sebelumnya berhasil menghelat KTT Non-Blok ke-10 di Jakarta pada 1992. Pameran ini diikuti
oleh 42 negara berkembang anggota GNB yang menampilkan sekitar 400 karya dari 251 perupa
dan dikurasi oleh Jim Supangkat yang mengetuai Emmanuel Arinze (Nigeria), Piedad Casas de
Ballesteros (Kolombia), T.K. Sabapathy (Singapura), Gulammohammed Sheikh (India), Apinan
Poshyananda (Thailand), dan A.D. Pirous (Indonesia) dalam susunan dewan kurator internasional.
Sebelumnya, setiap negara perwakilan telah menunjuk kurator nasional yang berperan dalam
proses seleksi karya dan memberikan pengantar perkembangan seni rupa kontemporer di negara
masing-masing. Wacana yang ditawarkan oleh pameran ini juga dipertajam melalui forum
diskursif berupa seminar internasional bertajuk Unity in Diversity in International Art dengan
diantaranya David Elliott, Mary Jane Jacobs, Geeta Kapur, Kuroda Raiji, T.K. Sabapathy, dan
Apinan Poshyananda tampil sebagai pembicara.
Penelitian ini berupaya memeriksa ulang signifikansi penyelenggaraan Pameran GNB sebagai
pameran internasional pertama dalam kerangka seni rupa kontemporer yang diinisiasi oleh
pemerintah Indonesia. Pameran GNB berada dalam latar situasi pertengahan 1990-an, periode
penting pascaperubahan drastis politik dunia dan wacana seni rupa kontemporer yang dimulai
sejak 1989, ditandai dengan dimulainya kehidupan politik unipolar setelah berakhirnya Perang
Dingin, terbukanya GNB pada dialog Utara-Selatan, serta munculnya gerakan internasionalisme
baru dalam konteks perkembangan seni rupa kontemporer yang sebelumnya terpusat di Eropa
Barat dan Amerika Utara. Melalui Pameran GNB sebagai studi kasus, artikel ini memberikan
gambaran tentang situasi latar sosiopolitik dan dinamika wacana seni rupa kontemporer Selatan
yang berkelindan di sekitar penyelenggaraan pameran dan seminar internasional tersebut.