digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Daru Pambayun Ramadhanti
PUBLIC Rita Nurainni, S.I.Pus

Produksi garam di Indonesia sudah mulai berkembang dengan pesat setelah ditetapkannya Peraturan Presiden (PP) Republik Indonesia (RI) No. 109 Tahun 2020 mengenai Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Salah satu lokasi sentra garam di Indonesia terletak di Jawa Barat, yakni Kabupaten Cirebon dan Indramayu. Produksi garam pada kedua daerah tersebut masih banyak yang bersifat tradisional, tingkat produksinya dipengaruhi oleh kondisi metocean perairan setempat seperti kelembapan relatif, laju evaporasi, laju presipitasi, salinitas, suhu permukaan laut dan kecepatan angin. Produksi garam pada kedua lokasi meningkat mulai dari tahun 2017 hingga 2019, akan tetapi menurun pada tahun 2020-2021. Berdasarkan perhitungan korelasi Pearson, kedua lokasi memiliki koefisien korelasi yang tinggi dengan laju evaporasi dan kelembapan relatif. Nilai koefisien korelasi untuk laju evaporasi dan produksi garam adalah sebesar 0,76 pada Kabupaten Cirebon dan 0,75 pada Kabupaten Indramayu. Sedangkan koefisien korelasi antara kelembapan relatif dengan produksi garam adalah -0,66 pada Kabupaten Cirebon dan -0,65 pada Kabupaten Indramayu. Meskipun tingkat korelasi parameter lainnya tidak berpengaruh langsung terhadap produksi garam, parameter lainnya berkorelasi dengan laju evaporasi dan kelembapan relatif. Berdasarkan pengukuran, terdapat kandungan logam berat yang melebihi batas baku mutu kelas I sesuai dengan Lampiran VI UU No. 22 Tahun 2021 pada bahan baku pembuatan garam di lima kecamatan yang ditinjau. Logam berat yang melebihi batas baku mutu adalah kandungan arsenik (As) dan tembaga (Cu). Kandungan arsenik tinggi pada Losarang B, Pangenan, Eretan dan Mundu dengan nilai maksimum sebesar 0,227 mg/L di Losarang B. Kandungan tembaga melebihi tingkat baku mutu pada seluruh lokasi dengan nilai maksimum berada pada Eretan, yakni 0,197 mg/L???? Tingkat logam terlarut akan mengakibatkan berkurangnya baku mutu produk garam.