digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800








2023_TS_PP_FAHMI_ALAM_WILDANY_IRSYA_DAFUS.pdf
EMBARGO  2026-08-08 

2023_TS_PP_FAHMI_ALAM_WILDANY_IRSYA_LAMPIRAN.pdf
EMBARGO  2026-08-08 

Upah Minimum telah menjadi salah satu isu yang penting dalam kebijakan pembangunan terutama dalam ketenagakerjaan di beberapa negara baik maju maupun berkembang. Sasaran dari kebijakan upah minimum ini adalah untuk menutupi kebutuhan hidup minimum dari pekerja dan keluarganya. Peningkatan upah minimum akan meningkatkan kebutuhan hidup layak sehingga standar hidup layak juga mengalami peningkatan yang akan berpengaruh terhadap kepada kesejahteraan masyarakat. Semenjak adanya otonomi daerah, terjadi perubahan dalam penentuan upah minimum di Indonesia. Di Indonesia telah menerapkan upah minimum sebagai batas dalam memberikan upah kepada pekerja. Dalam menentukan upah minimum, pemerintah mendasarkan penetapan upah minimum pada Kebutuhan Hidup Layak dengan memperhatikan juga produktivitas dan pertumbuhan ekonominya. Pada awalnya, upah minimum di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun, sejalan dengan desentralisasi fiskal tahun 2001, tanggung jawab penetapan upah minimum dialihkan ke pemerintah provinsi. Selain pertimbangan ekonomi, juga terdapat pertimbangan politik terutama politik daerah. Hal tersebut menimbulkan adanya variasi nilai upah minimum tiap kabupaten/kota yang terpengaruh. Penentuan upah minimum yang sudah berada pada tahap penetapan kebijakan akan banyak bergantung kepada faktor politik daripada faktor ekonominya. Oleh karena itu penelitian ini akan menganalisis pengaruh ekonomi dan politik daerah terhadap penentuan upah minimum kabupaten/kota. Dalam studi menggunakan data empiris 113 kabupaten/kota dan 5 provinsi di Pulau Jawa, kabupaten/kota dan provinsi yang digunakan sebagai data untuk penelitian ini merupakan populasi seluruh kabupaten/kota dan provinsi di pulau jawa kecuali pada Provinsi DKI Jakarta. Pulau Jawa sebagai wilayah pusat ekonomi dan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak menjadi benchmark bagi wilayah sekitar di Indonesia. Periode waktu dalam penelitian adalah tahun 2015 – 2020 untuk nilai UMK, dan tahun 2014 – 2019 untuk variabel yang lain karena penentuan UMK pada tahun selanjutnya dilakukan pada tahun berjalan. Adapun variabel dependen pada penelitian ini yakni nilai UMK dengan variabel independent pada level kabupaten/kota yakni bentuk kota, PDRB industri, Herfindahl-hirschman Index legislative sebagai parameter tingkat kompetisi legislatif, periode bupati/walikota, dan indeks kemahalan konstruksi sebagai parameter inflasi sedangkan variabel pada level provinsi yakni PDRB industri, Herfindahl-hirschman Index legislative, dan jumlah kursi partai politik yang berafiliasi dengan buruh. Data tersebut dirata-ratakan menjadi data cross section dan diolah menggunakan metode hierarchical linear model dengan software STATA. Hierarchihal Linear Model dipilih dalam analisis ini untuk mengetahui bagaimana variabel dependen tersebut bisa dijelaskan oleh level provinsi, level kabupaten/kota, atau oleh interaksi variabel kedua level. Hasil hierarchical linear model pada permodelan interaksi kedua level, HHIprov yang berinteraksi dengan periode berasosiasi negative terhadap UMK, berarti hasil tersebut menunjukkan bahwa wilayah kabupaten/kota dengan pemimpin yang berada pada periode pertama dan berada pada provinsi dengan tingkat kompetisi tinggi pada komposisi legislative maka kemungkinan kenaikan UMK akan lebih tinggi. Selain itu laborpolprov yang berinteraksi dengan periode berasosiasi positif terhadap UMK, yang berarti menunjukkan bahwa wilayah kabupaten/kota dengan pemimpin yang berada pada periode pertama dan berada pada provinsi yang mempunyai komposisi kursi legislatif yang berafiliasi dengan aliansi buruh maka kemungkinan kenaikan UMK akan lebih tinggi. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan dapat dilakukan seperti memperkuat peranan tripartite yang dalam penentuan UMK, yang triparrtite menjadi merupakan wadah proporsional untuk cross-check baik oleh perwakilan buruh, pemerintah maupun pengusaha agar terjadi keseimbangan. Selain itu penguatan dalam perumusan penghitungan UMK yang lebih berorientasi terhadap kondisi ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi agar tidak terjadi ketimpangan.