Curah hujan merupakan karakteristik utama yang menggambarkan cuaca dan
musim di Indonesia. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pola curah
hujan, salah satunya adalah angin muson yang menjadi penentu waktu musim
kering dan musim hujan di Indonesia. Angin muson mempengaruhi pergerakan uap
air di atmosfer, yang sering direpresentasikan sebagai Precipitable Water Vapor
(PWV). Untuk mengestimasi nilai PWV, GNSS (Global Navigation Satellite
System) menjadi alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan
resolusi spasial dan resolusi temporalnya yang tinggi. Dalam kasus ini, pengamatan
GNSS dilakukan dengan menggunakan InaCORS (Indonesia Continuously
Operating Reference Station) yang tersebar di Indonesia. Akan tetapi, distribusi
InaCORS saat ini mempunyai persebaran yang padat di wilayah Indonesia bagian
selatan. Hal ini menjadi salah satu alasan untuk batasan lokasi penelitian.
Peneliti mempunyai hipotesis bahwa PWV dan curah hujan mempunyai hubungan
yang erat dan dipengaruhi dengan pergerakan dari angin muson. Metode yang
digunakan untuk menggali hubungan tersebut adalah metode lagged correlation
(cross correlation) dan wavelet coherence. Kedua metode ini dapat
menggambarkan dan menguantifikasikan hubungan yang ada serta menunjukkan
apakah ada jeda waktu yang muncul. Data yang digunakan adalah data pengamatan
InaCORS sebagai data PWV dan data GSMaP (Global Satellite Mapping of
Precipitation) sebagai data curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan adanya pola
untuk korelasi dan jeda waktu di wilayah selatan Indonesia. Nilai korelasi akan
semakin berkurang ke arah timur dan nilai jeda waktu sebesar 1 pentad berada di
sebagian Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Fenomena
tersebut disebabkan pengaruh orografis dan pergerakan angin muson yang bekerja
di daerah tersebut. Nilai korelasi juga menunjukkan adanya pola berdasarkan
pergerakan angin muson, di mana korelasi tertinggi saat muson barat dan terendah
saat muson timur. Selain itu, hasil wavelet coherence menunjukkan bahwa sampel
stasiun di Kepulauan Nusa Tenggara mempunyai nilai koherensi yang tidak sekuat
sampel stasiun lainnya. Hal ini dapat disebabkan efek angin muson barat yang
lemah dan efek ENSO yang kuat di Kepulauan Nusa Tenggara.