Proses penggilingan padi menjadi beras menghasilkan produk samping salah satunya adalah bekatul. Sebagai negara penghasil padi dengan produksi 54,7 juta ton/tahun maka ketersediaan bekatul di Indonesia mencapai 5,4 juta ton/tahun. Bekatul mendapat perhatian di dunia pangan fungsional karena memiliki kandungan bioaktif yang tinggi utamanya senyawa fenolik. Kandungan fenolik pada bekatul setara dengan buah dan sayuran dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Namun, bekatul belum termanfaatkan dengan baik bahkan bekatul masih banyak dijual hanya sebagai pakan ternak. Teknologi pemanfaatan bekatul sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai ekonominya. Oleh karena itu, tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengembangkan teknologi produksi fenolik dari bekatul padi sebagai bahan pangan fungsional. Tahap pertama penelitian dimulai dengan melakukan stabilisasi bekatul. Bekatul mudah mengalami ketengikan sebagai akibat dari aktivitas lipase sehingga pemanfaatannya sebagai pangan menjadi terbatas. Tujuan penelitian tahap pertama adalah untuk meminimalkan ketengikan pada bekatul. Proses stabilisasi dilakukan menggunakan oven konvektif alami (KA) dan konvektif paksa (KP) skala lab dan minipilot. Temperatur stabilisasi yang diaplikasikan adalah 70, 90, 110 dan 160°C selama 10, 30 dan 60 menit. Pengamatan yang dilakukan adalah kadar air, aktivitas lipase, kandungan fenolik dan aktivitas antioksidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stabilisasi menggunakan KP pada temperatur 160°C selama 60 menit merupakan perlakuan terbaik. Stabilisasi bekatul pada kondisi operasi tersebut menurunkan aktivitas lipase sebesar 74±1,4%, serta meningkatkan kandungan fenolik total (KFT) dan aktivitas antioksidan (AA) berturut-turut 12,5±2,7% dan 8,8 ± 0,02%. Selain itu didapatkan juga model pengeringan bekatul menggunakan oven KP. Difusivitas air dalam bekatul bergantung terhadap temperatur (T) sehingga nilai koefisien difusivitas air dalam bekatul dibuat dalam bentuk persamaan 3,4×10-6 m2/detik. Model tersebut dapat digunakan untuk menentukan kondisi optimal pengeringan bekatul menggunakan oven konvektif. Hasil penelitian pada tahap ini menghasilkan bekatul terstabilkan. Tahap selanjutnya adalah melakukan ekstraksi fenolik dari bekatul yang telah terstabilkan. Tahap ini ditujukan untuk mendapatkan metode ekstraksi yang menghasilkan ekstrak dengan fenolik paling tinggi. Penelitian dilakukan dengan membandingkan metode ekstraksi konvensional yaitu maserasi dengan metode ekstraksi non-konvensional yaitu ultrasonik dan microwave. Metode ekstraksi terbaik selanjutnya dioptimasi kondisi operasinya menggunakan pendekatan response surface method (RSM). Hasil penelitian tahap ini menunjukkan bahwa kandungan fenolik dari metode microwave lebih tinggi dibandingkan maserasi dan ultrasonik, yaitu berturut-turut 8,39±0,05, 8,29±0,02, dan 8,28±0,03 g fenolik/100 g. Oleh karena itu, metode microwave dipilih untuk dioptimasi kondisi operasinya. Parameter optimasi meliputi konsentrasi etanol (%), waktu ekstraksi (menit), dan daya microwave (W). Kondisi operasi optimum yang didapatkan adalah konsentrasi etanol 80%, waktu 1,96 menit, dan daya microwave 180 W yang menghasilkan kandungan fenolik bebas, terikat dan total berturut-turut adalah 2,29±0,03; 6,73±0,4; dan 9,01±0,04 g fenolik/100 g bekatul. Penelitian pada tahap ini berhasil mengekstrak 95% fenolik yang terdapat pada bekatul. Selain itu, ekstraksi bekatul dengan metode microwave teroptimasi berhasil dimodelkan dengan nilai R2 mencapai 0,96. Nilai difusivitas fenolik yang didapatkan adalah 5,97×10-10 m2/detik dan nilai konstanta distribusi adalah 0,94. Model ekstraksi yang dihasilkan bermanfaat dalam mengoptimalkan kondisi ekstraksi fenolik dan menduga pengaruh dari parameter tertentu terhadap kinerja ekstraksi. Larutan ekstrak fenolik yang didapatkan pada tahap kedua ini memiliki kemurnian sebesar 4,6% untuk ekstrak fenolik bebas dan 0,2% untuk ekstrak fenolik terikat. Tahap penelitian selanjutnya bertujuan untuk meningkatkan kemurnian ekstrak fenolik yang sudah didapatkan dengan metode adsorpsi-desorpsi. Penelitian pada tahap ini meliputi pemilihan adsorben, penentuan karakter adsorpsi isothermal, penentuan laju alir optimal dalam adsorpsi-desorpsi dinamis, memodelkan kurva breakthrough dalam proses adosprsi fenolik, dan penentuan kemurnian ekstrak fenolik sebelum dan sesudah pemurnian. Jenis adsorben yang diujikan adalah anion ICD (penukar anion basa), kation ICD (penukar kation asam), kation KH80 (penukar kation asam), LJ11 (nonpolar) dan LJ18 (semipolar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorben yang paling baik dalam memurnikan ekstrak fenolik bekatul adalah LJ18. Adsorben ini memiliki rasio adsorpsi 82,8%, rasio desorpsi 94,3% dan perolehan kembali (yield recovery) 78%. Model adsorpsi isotermal Langmuir dapat menggambarkan sistem adsorpsi fenolik bekatul dengan baik di mana nilai R2 mencapai 0,99, sedangkan nilai konstanta Langmuir (KL) yang didapatkan adalah 0,03 L/mg dan nilai kapasitas adsorpsi maksimum (qm) 0,7 mg/g. Hasil adsorpsi-desorpsi dinamis menunjukkan bahwa laju alir adsorpsi 4 bv/h (bed volume per hour) dan laju alir desorpsi 3 bv/h merupakan laju alir terbaik berdasarkan efisiensi yang tinggi dan waktu kerja yang singkat. Kurva breakthrough dari proses adsorpsi fenolik bekatul pada adsorben LJ18 berhasil dimodelkan dengan nilai R2 adalah 0,99. Titik breakpoint didapatkan pada menit ke-280. Peningkatan kemurnian ekstrak fenolik bebas mencapai 1,8 kali lipat dari 4,58±0,06 menjadi 12,79±0,3 g fenolik/100 g ekstrak kering. Sementara itu peningkatan kemurnian pada ekstrak fenolik terikat mencapai 58,3 kali lipat dari 0,22±0,01 menjadi 12,65 ± 0,2 g fenolik/100 g ekstrak kering. Larutan ekstrak fenolik bebas dan terikat digabungkan menghasilkan larutan ekstrak fenolik bekatul pekat. Tahap akhir penelitian adalah perlakuan penyalutan yang bertujuan untuk melindungi ekstrak fenolik agar stabil selama penyimpanan. Penyalutan dilakukan dengan tiga perlakuan zat penyalut yaitu maltodekstrin (MD), gom arab (GA), dan kombinasi antara maltodekstrin dan gom arab (MD/GA). Selain itu disiapkan juga sampel tanpa penyalutan (TP) sebagai pembanding. Metode penyalutan menggunakan freeze dryer (F) dan spray dryer (S). Bubuk yang dihasilkan kemudian disimpan selama 4 minggu di mana analisa fenolik dan aktivitas antioksidan dilakukan setiap minggu penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan penurunan fenolik sebesar 46% pada ekstrak tanpa penyalutan, sedangkan penurunan fenolik pada ekstrak tersalut berkisar 9–12%. Perlakuan S-MD/GA merupakan perlakuan terbaik karena mampu mempertahankan kandungan fenolik ekstrak dan aktivitas antioksidan berturut-turut sebesar 92 dan 84% tanpa ada penurunan yang signifikan selama penyimpanan (p<0,05). Hasil analisa nilai IC50 S-MD-GA adalah 0,7±0,02 mg fenolik/mL sedangkan nilai IC50 kontrol positif (asam askorbat) adalah 0,6 ± 0,01 mg fenolik/mL, dengan demikian nilai relative antioxidant activity (RAA) fenolik bekatul adalah 0,86. Perhitungan neraca massa menunjukkan bahwa pengolahan 1 ton bekatul mentah akan menghasilkan 0,26 ton bubuk ekstrak fenolik tersalut yang terdiri dari 0,13 ton ekstrak fenolik dan 0,13 ton zat penyalut MD/GA. Teknologi ini akan memberikan peluang baru bagi dunia industri dalam pengembangan produk baru berbasis hasil samping padi yaitu bekatul.