BAB 2 Afif Nur Iksan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 3 Afif Nur Iksan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 4 Afif Nur Iksan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 5 Afif Nur Iksan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
BAB 1 Afif Nur Iksan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas  Resti Andriani
» Gedung UPT Perpustakaan
Pengolahan bijih nikel laterit tipe limonit umumnya dilakukan melalui jalur
hidrometalurgi. Permasalahannya, proses hidrometalurgi meninggalkan sisa hasil
pengolahan dari tahap pelindian dalam jumlah yang signifikan sehingga perlu
dimanfaatkan lebih lanjut untuk meminimalisasi potensi bahaya terhadap
lingkungan sekitar. Dua contoh sisa hasil pengolahan proses hidrometalurgi, yaitu
natrojarosit dan residu pelindian. Kandungan besi dalam jarosit berkisar 20-35%,
sedangkan residu pelindian memiliki kandungan besi sekitar 30-60%. Keduanya
berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku sekunder industri besi dan baja.
Akan tetapi, kadar sulfur yang cukup tinggi, yaitu mencapai 12% tentu menjadi
permasalahan serius karena nilai ambang batas sulfur untuk bahan baku besi baja
adalah 1%. Oleh karena itu, kandungan sulfur dalam natorojarosit dan residu
pelindian perlu diturunkan agar dapat memenuhi standar sebagai bahan baku
sekunder industri besi dan baja.
Serangkaian percobaan telah dilakukan yang dimulai dengan melakukan preparasi
natrojarosit, residu pelindian bijih nikel laterit, dan cangkang kelapa sawit.
Karakterisasi awal dilakukakan dengan X-ray fluorescence (XRF) dan X-ray
diffraction (XRD), uji proksimat, dan uji ultimat. Natrojarosit dan residu pelindian
bijih nikel laterit yang digunakan memiliki perbandingan massa 20%:80% pada
variasi proporsi reduktor cangkang kelapa sawit 25%, 50%, 75%, dan 100%. Proses
reduksi dilakukan menggunakan metode non-isotermal pada temperatur awal
1000oC dengan temperatur akhir divariasikan 1300oC, 1350oC, 1400oC, dan 1450oC
serta metode isotermal 1000oC, 1300oC, dan 1450oC selama 2 jam. Hasil reduksi
dianalisis menggunakan mikroskop optik, ImageJ, dan Scanning Electron
Microscopy – Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS) untuk menentukan
fasa-fasa yang terbentuk, proporsi fasa, dan kandungan unsur pada tiap fasa hasil
reduksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah reduktor yang terlalu berlebih (>25%)
menghambat pembentukan logam besi dalam ukuran makro. Reduksi baik dengan
metode non-isotermal maupun metode isotermal, memberikan hasil kandungan
sulfur yang terus menurun pada fasa logam seiring dengan peningkatan temperatur
reduksi akan tetapi fasa matte yang kaya sulfur masih teramati di seluruh kondisi
percobaan. Proporsi fasa logam yang dihasilkan semakin besar serta semakin
terpisah dari fasa teraknya seiring dengan peningkatan temperatur. Secara umum,
kondisi optimum percobaan diperoleh pada reduksi non-isotermal 1450oC
menggunakan 25% reduktor yang menghasilkan kandungan besi dan sulfur di fasa
logam berturut-turut sebesar 88,53% dan 0,49% dengan proporsi fasa logam-matte
65,56%. Terak yang dihasilkan sudah didominasi oleh fasa terak cair dengan
kandungan FeO 7,64% dan viskositas sebesar 7,313 PaS.