digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Ketut Dipta Pramana Tradika
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan

Indonesia akan mencapai masa gemilangnya pada tahun 2045, disebut juga Indonesia Emas 2045, pada tahun tersebut Indonesia mengalami bonus demografi dimana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan jumlah penduduk usia non-produktif. Salah satu visi utama Indonesia Emas 2045 adalah pembangunan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sayangnya, kualitas SDM Indonesia masih berada di level rendah karena sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas pendidikan Indonesia yang belum maksimal. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan literasi masyarakatnya yang juga rendah, salah satunya adalah Kota Denpasar. Faktor utama yang menyebabkan kemampuan literasi masyarakat Kota Denpasar tidak berkembang dan masih berada di level sedang (44.58%), meskipun tingkat melek hurufnya tinggi (97.66%), adalah minimnya akses di sekolah, minimnya akses di lingkungan masyarakat, dan rendahnya aktivitas membaca pada masyarakatnya. Namun, setidaknya telah terdapat 42 komunitas literasi di Bali yang bergerak di berbagai bidang dengan tujuan yang sama yaitu untuk memajukan dan meningkatkan lagi aktivitas literasi masyarakat Bali, khususnya di Kota Denpasar. Adapun kendala yang dialami oleh komunitas ini dalam melakukan kegiatan literasi seperti kurang tersedianya bahan bacaan di beberapa komunitas literasi serta kualitas dan jumlah SDM yang terbatas membuat aktivitas literasi komunitas belum berkembang ke jenis literasi lainnya. Oleh karena itu, arsitektur memiliki peran penting untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara menyediakan sarana pendukung salah satunya berupa penyediaan fasilitas perpustakaan umum. Perpustakaan umum ini dirancang berbasis komunitas yang tidak hanya difungsikan sebagai sarana edukasi tetapi juga dapat menjadi tempat rekreasi, ruang ketiga (third place), dan pusat kegiatan literasi tersentral bagi komunitas ataupun masyarakat. Seluruh fungsi-fungsi tersebut, kemudian dirumuskan kembali menjadi ruang inklusi, ruang koleksi, dan ruang budaya. Penyediaan ruang inklusi pada perpustakaan ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan perpustakaan yang mendukung terjadinya interaksi sosial baik antar pengguna ataupun komunitas. Ruang koleksi hadir untuk menjawab kebutuhan komunitas akan tempat untuk melakukan aktivitas literasi secara tersentral dengan menyediakan bahan bacaan yang juga berkualitas. Kemudian, ruang budaya dibentuk sebagai respon terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu masyarakat lebih suka pergi ke mall daripada ke perpustakaan, sehingga perpustakaan ini dirancang agar dapat menjadi wadah berekspresi dan bersantai bagi penggunanya. Dalam usaha mengimplementasikan program-program tersebut ke dalam rancangan, konsep yang digunakan yaitu Hita: Creating Harmony between People, Nature, and Culture. Konsep ini lahir dengan mengadopsi ajaran filosofi lokal yang telah mendunia yaitu Tri Hita Karana yang menjelaskan tentang relasi manusia dalam berkehidupan.