digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

COVER Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 1 Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 2 Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 3 Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 4 Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 5 Maria Gabriela Kristanti
PUBLIC Irwan Sofiyan

Dalam rangka mendukung program pemerintah dalam peningkatan target bauran EBT pada tahun 2025 mencapai 23% dengan rincian 13-15% berasal dari PLT EBT, 2-5% berasal dari PLT Bioenergi dan 2-3% berasal dari Bahan Bakar Nabati, pemanfaatan biomassa dari seluruh sektor ditingkatkan. Salah satu biomassa dengan pemanfaatan yang rendah adalah eceng gondok (Eiochornia crassipas). Eceng gondok adalah gulma air yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi dan sulit untuk dikendalikan. Keberadaan eceng gondok menjadi permasalahan pada berbagai sektor kehidupan mahluk hidup seperti lingkungan, transportasi, ekonomi, pariwisata, kesehatan, dan lain-lain. Di sisi lain, eceng gondok memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis. Umumnya eceng gondok dapat digunakan sebagai adalah bahan kerajinan tangan, pakan ternak, dan tumbuhan fitoremidiasi. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan bakar juga telah berhasil dilaksanakan seperti biogas, bioetanol, dan briket atau pelet. Di waduk Jawa Barat, jumlah eceng gondok yang tinggi juga menjadi potensi yang tinggi untuk dimanfaatkan. Di Waduk Saguling, eceng gondok dimanfaatkan oleh Biomass Operation System of Saguling (BOSS) untuk memproduksi solid recovered fuel (SRF) untuk co-firing di PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Lontar. Namun proses produksi tidak berjalan optimal akibat proses pengeringan yang sangat bergantung pada cuaca dan sifat eceng gondok yang liat sehingga menyulitkan pencacahan. Akibatnya proses produksi menjadi terhambat dan kapasitas produksi rendah hanya 0,3 ton/hari. Dilakukan pengembangan unit produksi untuk mengoptimalkan proses produksi SRF di unit BOSS. Perancangan sistem pengeringan sederhana dengan metode penjemuran dan biodrying untuk mengurangi pemakaian area pengeringan dan tidak bergantung pada cuaca, dilaksanakan pada laboratorium terbuka. Dilakukan juga perancangan sistem produksi dan pengembangan unit produksi SRF pada skala UMKM berdasarkan ketersediaan eceng gondok di Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Penjemuran dengan matahari di unit BOSS dapat menurunkan kadar air eceng gondok hingga 60% dari kadar air awal. Produksi SRF di unit BOSS tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena dua faktor masalah yaitu sistem pengeringan yang sangat bergantung pada cuaca dan membutuhkan lahan yang luas serta sifat liat pada eceng gondok yang mempersulit operasi pencacahan. Percobaan penjemuran eceng gondok menurunkan kadar air sebanyak 32% dengan metode keramba, 57% dengan metode keramba bertingkat (rak), dan 16-40% dengan metode keranda. Percobaan biodrying tanpa pengeringan awal tidak sesuai untuk eceng gondok segar dengar kadar air lebih dari 90% karena menyebabkan sampel menjadi busuk namun terdapat penurunan massa sebanyak 15,9-30%. Sampel eceng gondok sekitar unit BOSS memiliki komposisi ultimat (air dried basis) 22,67-35,12% C, 4,37-5,64% H, 28,06-45,36% O, 1,05-1,15% N, dan 0,13-0,46% S serta komposisi proksimat (air dried basis) 12,60-43,49% abu, 46,67-59,76% volatile matter, dan 0,57-14,86% fixed carbon. Nilai HHV sampel eceng gondok, kayu, dan SRF sekitar unit BOSS berturut-turut adalah 8,41-15,65 MJ/kg, 18,16-18,35 MJ/kg, dan 13,09-15,12 MJ/kg. Ketersediaan eceng gondok di Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur tidak dapat memenuhi kebutuhan harian SRF co-firing PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Lontar namun dapat menjadi pemasok dalam jumlah yang lebih rendah. Berdasarkan skenario pendirian unit UMKM, pada Waduk Saguling dapat didirikan 1-15 unit UMKM, Waduk Cirata sebanyak 33-440 unit UMKM, dan Waduk Jatiluhur sebanyak 9-1.217 unit UMKM untuk memproduksi SRF pada kapasitas panen 9,5 Ha, 285,00 Ha, dan 788,50 Ha. Produk SRF yang dihasilkan BOSS memenuhi standar kelas-2 dan kelas-3 SNI 8966:2021 serta kelas-×European Standardization. Semakin tinggi jumlah tenaga kerja maka semakin rendah laba yang diperoleh unit BOSS sehingga dibutuhkan penyesuaian kapasitas produksi minimum berdasarkan jumlah tenaga kerja. Model analisis ekonomi dengan jumlah tenaga kerja terendah pada kapasitas produksi tertinggi dan mendapat hibah serta subsidi dari Pemerintah akan menghasilkan laba tertinggi. Model analisis ekonomi dengan jumlah tenaga kerja tertinggi pada kapasitas produksi terendah dengan skenario tanpa hibah dan subsidi dari Pemerintah akan menghasilkan laba terendah.