Kebijakan nilai tambah mineral merupakan implementasi dari pasal 33 UUD 1945,
yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Minerba tahun 2009, pasal 102 - 104.
Larangan ekspor mineral logam dalam kondisi mentah (raw material), bijih dan konsentrat
tersebut diberlakukan pada tahun 2014. Kondisi pertambangan Indonesia secara makro dilihat
dari keterkaitan hulu dan hilir (Backward & Forward lingkage) menunjukkan nilai dibawah 1,
yang berarti memiliki keterkaitan yang rendah. Kabupaten Mimika merupakan daerah
penghasil tembaga terbesar di Indonesia, dengan kontribusi rata-rata PDRB sektor
pertambangan (2006-2011) mencapai 95,3894 dan 94,59 96. Larangan eskpor konsentrat pada
tahun 2014 dan kondisi ketidakseimbangan ketersediaan kapasitas smelter dengan produksi
konsentrat tembaga akan berdampak pada kondisi ekonomi kabupaten Mimika. Hasil simulasi
pemodelan pada tahun 2014- 2025, pada perbandingan skenario 1 (kondisi Business as Usual)
dengan skenario 2 (kebijakan dilaksanakan, tidak ada pertumbuhan kapasitas smelter)
Potensial Lost rata- rata PDRB kabupaten Mimika mencapai Rp. 53,3 Triliun, sedangkan
pada perbandingan skenario 1 (kondisi Business as Usual) dengan skenario 3 (kebijakan
dilaksanakan, pertumbuhan kapasitas sinelter sesuai rencana Ditjen Minerba) dengan
pembagian jumlah konsentrat yang akan diolah yang berasal dari Kabupaten Mimika dan
Kabupaten Sumbawa Barat (daerah penghasil konsentrat tembaga terbesar), Potensial Los!
rata- rata PDRB kabupaten Mimika sebesar Rp. 23,6 Triliun.