Kepemilikan sistem informasi pada suatu perusahaan diharapkan dapat
mendukung proses bisnis secara menyeluruh, yang bukan terbatas pada fungsi
bisnis tertentu saja namun dapat bermanfaat bagi sejumlah area fungsional.
Kecenderungan ini menuntut pada kebutuhan untuk melakukan integrasi terhadap
sistem yang berorientasi fungsi agar dapat sejalan dengan proses bisnis. Yayasan
Pendidikan Ariyanti (YPA) sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang
pendidikan memiliki sejumlah fungsi bisnis yang ditunjang oleh sistem informasi.
Namun dalam perkembangannya, mulai dari pengadaan sampai dengan
pengelolaan sistem tersebut dilakukan secara independen oleh sejumlah unit
organisasi tanpa memperhatikan kebutuhan bisnis secara menyeluruh sehingga
muncul ‘pulau-pulau’ informasi sebagai dampak dari sistem yang bersifat
stovepipe dan tidak mampu berkomunikasi satu sama lain. Integrasi enteprise
memberikan jawaban terhadap permasalahan seputar sistem berbeda platform
yang tidak dapat memberikan manfaat optimal bagi perusahaan.
Untuk dapat memperoleh manfaat bagi bisnis secara menyeluruh, maka sebelum
melakukan integrasi, dilaksanakan kegiatan analisis terhadap kondisi enterprise
saat ini. Analisis bertujuan untuk memahami keadaan YPA yang sedang berjalan
(as-is), dimulai dengan pemodelan bisnis, pengumpulan informasi seputar sistem
dan teknologi saat ini yang menghasilkan katalog sumber daya informasi.
Pemodelan bisnis dengan menggunakan rantai nilai Porter dan juga Four Stage
Life Cycle Business System Planning memungkinkan pemahaman akan area-area
fungsional yang dimiliki YPA sehingga arsitektur yang dihasilkan tidak mudah
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internal maupun eksternal. Hasil analisis
katalog sumber daya informasi mendasari integrasi yang dapat dikelola secara
optimal tanpa tergantung pada suatu perkembangan teknologi tertentu.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi yang sedang berlangsung, maka dapat
ditentukan kebutuhan data, aplikasi dan teknologi yang ideal di masa mendatang
(to-be). Hasil analisis kondisi as-is yang diperbandingkan dengan kondisi to-be
menghasilkan kesenjangan yang dapat memberikan arahan kebijakan untuk dapat
melakukan integrasi.
Kesenjangan dilihat dari kelompok data, aplikasi maupun teknologi. Dari hasil
evaluasi kesenjangan kelompok data menunjukkan bahwa terdapat 4 entitas data
dari keseluruhan 30 entitas data ideal atau 13.33 % yang belum tersedia pada
aplikasi legacy. Jadi 86.67 % entitas data ideal sebenarnya telah dihasilkan dari
aplikasi legacy. Terdapat 5 atau 16.67 % entitas data acuan (master) yang
dihasilkan secara berulang oleh sejumlah aplikasi legacy. Sedangkan 83.33 %
entitas-entitas lainnya dikelola secara mandiri oleh unit-unit organisasi sehingga
memiliki beragam format dan tidak terintegrasi. Hal ini tentu saja merepotkan
pengelolaan sistem karena data yang sama dibuat secara berulang-ulang (terjadi
redundansi).
Dari hasil evaluasi kesenjangan kelompok aplikasi menunjukkan bahwa terdapat 4
aplikasi dari total 29 aplikasi atau 13.79 % yang termasuk ke dalam
pengembangan baru, yaitu aplikasi yang berhubungan dengan aplikasi promosi
dan pengelolaan Bursa Kerja Khusus (BKK). Sedangkan aplikasi lain sebesar
86.21 % dipertahankan atau dimodifikasi dari aplikasi lama (legacy) dengan
melakukan integrasi. Dari hasil evaluasi kesenjangan kelompok teknologi
menunjukkan bahwa teknologi yang ada masih dapat digunakan dengan
optimalisasi pemanfaatan jaringan internet, pengaturan beban kerja server dan
pemilihan teknologi middleware.
Integrasi juga dipicu oleh pengendali-pengendali dan kebutuhan-kebutuhan bisnis.
Pengendali dan kebutuhan bisnis yang memicu diperlukannya integrasi di YPA
adalah peningkatan perolehan manfaat kompetitif bagi bisnis, efisiensi dan
layanan bagi konsumen internal dan eksternal YPA. Pembentukan arsitektur
integrasi meliputi integrasi teknis, layanan, informasi dan proses bisnis. Hasil dari
arsitektur ini kemudian digunakan sebagai landasan bagi pembuatan strategi
implementasi integrasi.