Menurut data Bina Marga KemenPUPR, kebutuhan aspal pada tahun 2021
mencapai 1,2 juta ton. Jika kebutuhan aspal setiap tahunnya berkisar diangka
tersebut, maka sumber daya alam berupa aspal tidak tercukupi. Oleh karena itu
dibutuhkan modifikasi aspal. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
kebutuhan aspal dan kinerja aspal, salah satunya dengan pemanfaatan Reclaimed
Asphalt Pavement (RAP) atau limbah dari perkerasan jalan lama dan pemanfaatan
limbah alam seperti tempurung kelapa yang diolah untuk mendapatkan minyak dari
hasil pirolisis. Penggunaan bioaspal tempurung kelapa (BTK) sebagai bahan
peremaja pada penelitian ini ditinjau dengan menambahkan bioaspal pada aspal
RAP dengan persentase 35%, 40% an 45% pada campuran AC-WC HMA.
Pengujian campuran beraspal dilakukan dengan uji marshall, modulus resilien
menggunakan alat UMATTA pada kondisi KAO dan uji ketahanan alur dengan
menggunakan alat Wheel Tracking Machine. Hasil penelitian bioaspal terhadap
RAP menunjukkan: 1) penambahan BTK sebagai bahan peremaja pada campuran
yang mengandung RAP hingga 45% dapat menghasilkan KAO yang memenuhi
kriteria AC-WC, hal ini menunjukkan bahwa bioaspal dapat digunakan sebagai
peremaja; 2) berdasarkan pengujian modulus AC-WC RAP 35% + BTK, AC- WC
RAP 40% + BTK, AC- RAP 45% + BTK masing-masing memiliki modulus resilien
2,25; 2,57 dan 2,87 kali lebih besar dari pada modulus resilien AC-WC HMA
konvensional atau ACWC tanpa RAP + BTK; 3) Pengujian ketahanan alur pada
lintasan ke 1260, kedalaman alur yang terjadi pada HMA AC-WC tanpa RAP +
BTK, HMA AC-WC RAP 35% + BTK, HMA AC-WC RAP 40% + BTK dan
HMA AC-WC RAP 45% + BTK masing-masing pada suhu 25oC dan 45oC adalah
1,25; 1,20; 1,19; 0,91; 0,58; 0,49; 0,32 dan 0,21 mm. dari hasil kinerja lanjut
campuran beraspal ini membuktikan bahwa penggunaan RAP diatas 30% dapat
dilakukan dan memberikan kinerja yang lebih baik juga.