ABSTRAK Kevin Andika Hartono
PUBLIC Alice Diniarti COVER_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti BAB I_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti BAB II_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti BAB III_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti BAB IV_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti BAB V_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti PUSTAKA Kevin Andika Hartono
PUBLIC Alice Diniarti LAMPIRAN_KEVIN ANDIKA HARTONO.pdf
PUBLIC Alice Diniarti
Jalan tol hijau (JTH) sebagai bagian dari infrastruktur berkelanjutan di Indonesia
telah muncul melalui program inisiasi Jasa Marga dan GIFI untuk mensertifikasi
JTH pada ruas tol Gempol-Pandaan dan tol Pandaan-Malang. Implementasi JTH
diperlukan untuk mengatasi dampak negatif kepada lingkungan mulai dari tahap
konstruksi hingga operasional, serta peningkatan performa jalan tol dan pelayanan
pengguna secara berkelanjutan. Pembangunan jalan tol di Indonesia akan terus
meningkat ke depannya, tetapi implementasi JTH melalui sertifikasi masih terlihat
minim dibandingkan dengan negara maju lainnya dan belum ada kebijakan JTH
dari Kementrian PUPR, disamping kebijakan mengenai jalan hijau dan jalan tol
berkelanjutan. Penelitian sebelumnya telah mengembangkan tolok ukur JTH
sebagai standar pembangunan JTH di Indonesia yang tersusun atas 5 aspek, 30
kriteria, dan 210 indikator. Tolok ukur JTH belum membentuk model penilaian dan
memerlukan prioritas kepentingan pada tingkat aspek dan kriteria, agar
penerapannya lebih terfokus dan efektif mencapai manfaat JTH. Proyek jalan tol di
Indonesia penting dievaluasi melalui penerapan tolok ukur JTH sesuai dengan
prioritas penerapannya dalam menginisiasi implementasi JTH. Adopsi konsep hijau
pada siklus proyek jalan tol secara alamiah akan memiliki kendala yang dapat
tercermin dari kendala penerapan tolok ukur JTH, terutama kendala finansial yang
sensitif berpengaruh terhadap besar tarif pengguna. Dengan adanya urgensi untuk
mendorong implementasi JTH di Indonesia, diperlukan solusi untuk mengatasi
kendala yang menghambat tolok ukur JTH. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
menganalisis tingkat kepentingan pada aspek dan kriteria JTH, tingkat penerapan
pada indikator JTH, serta kendala dan rekomendasi solusi terhadap penerapan tolok
ukur JTH.
Penelitian deskriptif eksploratif ini merupakan lanjutan dari pengembangan tolok
ukur JTH untuk memperdalam pemahaman mengenai penerapan dan kepentingan
tolok ukur JTH, dan mengungkap kendala aktual yang terjadi. Data kepentingan
dan penerapan tolok ukur JTH dikumpulkan melalui kuesioner, dimana tingkat
kepentingan akan meninjau perspektif tiga stakeholders utama jalan tol (investor,
regulator, dan masyarakat profesional) dan tingkat penerapan meninjau siklus hidup
proyek yang diusahakan oleh investor. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan
data kendala penerapan melalui wawancara mendalam kepada investor berdasarkan kerangka: regulasi, finansial, pengetahuan, budaya, dan teknikal. Pengolahan data
akan mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang akan dianalisis
deskriptif dengan metode Qualitative Comparative Analysis. Kendala penerapan
utama akan ditentukan berdasarkan metode Pareto, lalu dilanjutkan dengan analisis
solusi melalui pendekatan PESTLE, dan diperoleh solusi utama sebagai keluaran
penelitian melalui pemetaan hubungan antara kendala utama dengan solusi.
Diperoleh hasil penelitian yaitu: (1) Tingkat kepentingan aspek JTH mulai dari
paling penting: Transportasi dan Masyarakat, Konservasi Lingkungan, Energi dan
Air, Material, serta Aktivitas Konstruksi. Tingkat kepentingan untuk 30 kriteria
JTH diklasifikasikan 16,7% sangat penting, 70% cukup penting, dan 13,3% kurang
penting. Terdapat perbedaan perspektif kepentingan yang cukup signifikan dari
ketiga kelompok stakeholders pada tingkat aspek dan kriteria JTH. (2) Tingkat
penerapan tolok ukur JTH dari 7 sampel proyek jalan tol dikategorikan cukup baik
dengan telah menerapkan rata-rata 77,64% dari seluruh indikator JTH. Jalan tol
yang telah bersertifikasi hijau memiliki penerapan tolok ukur JTH yang lebih
unggul daripada jalan tol yang belum bersertifikasi hijau, sehingga program
sertifikasi JTH mampu mendorong stakeholders terutama investor jalan tol untuk
menerapkan kriteria hijau pada siklus hidup proyek. (3) Kendala utama yang
menghambat penerapan tolok ukur JTH ditujukan dalam lingkup penyediaan
fasilitas jalan tol dan pelaksanaan program hijau dengan memanfaatkan sumber
daya berspesifikasi hijau (material dan teknologi) yaitu: peningkatan biaya
investasi jalan tol menjadi lebih mahal; belum adanya regulasi dan kebijakan JTH
yang spesifik dari regulator utama (BPJT dan DJBM) dan regulator pendukung;
serta belum adanya kebutuhan dari investor dan praktisi konstruksi jalan tol. (4)
Solusi utama yang direkomendasikan adalah peningkatan integrasi stakeholders
jalan tol untuk mendukung implementasi JTH dengan didasari pengembangan
regulasi spesifik JTH oleh regulator dan pelaksanaan program sustainability JTH
oleh investor. Integrasi stakeholders perlu memprioritaskan penyelesaian kendala
budaya dan pengetahuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kompetensi
stakeholders dalam menghasilkan nilai tambah terhadap keberlanjutan melalui
peran masing-masing dalam lingkup penyelenggaraan dan pengusahaan jalan tol.