Salah satu tujuan peningkatan nilai tambah melalui proses pengolahan dan pemurnian,
sebagaimana dinyatakan dalam UU No.4/2009 pasal 102 dan 103 adalah untuk
mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak perusahaan dan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP), misalnya royalti. Berbagai aturan telah diterbitkan untuk mendukung kebijakan
tentang nilai tambah tersebut, termasuk kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah atau
konsentrat. Diterbitkannya PP No.9 Tahun 2012 merupakan penjabaran dari kebijakan tersebut.
Penelitian ini mengkaji dampak dari kebijakan nilai tambah terhadap perekonomian
khususnya pengembangan industri hilir yang merupakan pengembangan dari pertambangan
tembaga. Pembangunan smelter baru yang dilakukan saat ini dapat mengolah seluruh
konsentrat tembaga Indonesia dan mampu menghasilkan tembaga katoda yang dibutuhkan oleh
Indonesia sampai dengantahun 2020 serta merupakan mata ranai industri yang penting.
Terlambatnya pemberlakuan tarif royalti sesuai dengan PP No.9 Tahun 2012 untuk
pertambangan tembaga menyebabkan terjadinya selisih penerimaan negara dari royalti untuk
tahun 2012, 2013, dan 2014 berturut-turut sebesarRp. 2,4 Trilyun, Rp. 1,96Trilyun, dan Rp. 2,08
Trilyun.Sementara itu untuk kurun waktu yang samaterdapattambahan penerimaan negara
sekitar Rp. 37 — 38 Milyar jika lumpur anoda yang dihasilkan oleh smelter diolah di dalam
negeri.