Pada tanggal 22 Desember 2018, telah terjadi tsunami di Selat Sunda yang diakibatkan oleh longsoran tubuh gunungapi karena dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Gelombang tsunami tersebut membawa endapan yang disebut endapan tsunami yang kemudian terendapkan di daratan wilayah terdampak tsunami, salah satunya di daerah Kalapa Koneng, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian mengenai endapan tsunami yang dihasilkan oleh aktivitas gunungapi masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik endapan tsunami akibat longsoran tubuh gunungapi berdasarkan pengamatan megaskopis, analisis besar butir (granulometri), unsur kimia, kandungan foraminifera, dan cluster serta untuk membandingkan karakteristik endapan tsunami akibat longsoran tubuh gunungapi tersebut dengan karakteristik endapan tsunami akibat gempa bumi dan endapan badai. Penelitian ini dilakukan pada satu data di transek sepanjang 152 m dengan 13 titik lokasi pengamatan dan sampling. Total sampel endapan tsunami dan pratsunami (tanah) berjumlah 45 buah berkode KLK dengan pengambilan secara vertikal berinterval satu cm menyesuaikan dengan tebal endapan tsunami. Pengambilan sampel merupakan bagian penelitian oleh Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hasil pengamatan megaskopis menunjukkan bahwa endapan tsunami dan tanah memiliki kontak yang jelas kecuali pada KLK06, KLK10, dan KLK11. Ciri megaskopis endapan tsunami berwarna cokelat keabuan, pasir halus hingga kasar, sortasi buruk, terdiri dari butiran mineral plagioklas, kuarsa, biotit, kalsit, magnetit, dan fragmen berukuran 0,5-2 cm berupa pecahan koral, cangkang moluska, pumice, dan litik. Berdasarkan analisis besar butir (granulometri), endapan tsunami memiliki ukuran lanau sangat kasar sampai pasir kasar, sortasi buruk hingga sangat buruk, dan distribusi unimodal-bimodal. Kandungan unsur Ca dan Sr pada endapan tsunami cenderung lebih tinggi dibandingkan pada tanah yang mengindikasikan adanya pengaruh laut, sedangkan unsur Fe dan Ti pada tanah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan endapan tsunami yang mengindikasikan sumber material darat. Berdasarkan analisis foraminifera, terdapat 25 spesies foraminifera bentonik dan tidak ditemukan foraminifera planktonik. Diketahui terdapat percampuran lingkungan hidup asosiasi foraminifera dari shallow marine inner neritic dan middle neritic. Berdasarkan analisis cluster terdapat satu hingga tiga lapisan pada endapan tsunami yang mengindikasikan jumlah gelombang tsunami yang terjadi. Endapan tsunami akibat longsoran tubuh gunungapi dapat dibedakan dengan endapan tsunami akibat gempa bumi dan endapan badai dari parameter sortasi dan kontak dengan lapisan dibawahnya. Perbedaan itu bukan merupakan pembeda umum dari ketiga endapan tersebut, namun berdasarkan pada studi kasus endapan tsunami Anak Krakatau 2018 di daerah Kalapa Koneng serta berdasarkan referensi yang digunakan dalam penelitian ini.