digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Yunita Dwi Adisaputri
Terbatas Perpustakaan Prodi Arsitektur
» ITB

Cara pandang dan pemahaman terhadap arsitektur vernakular pada budaya bermukim, khususnya pada permukiman komunitas adat Sunda selama ini lebih memperhatikan penanda fisik permukiman dan tampilan formal rumah dan sering kali mengenyampingkan perubahan. Cara pandang demikian tak lagi relevan dalam melihat cara bermukim komunitas adat di masa sekarang. Banyak kampungkampung adat yang kosong ditinggalkan oleh penghuninya, terutama generasi muda. Bersetia pada tradisi secara kaku justru mengancam keberlanjutan komunitas mereka. Penelitian ini mencoba melihat dengan cara baru sebuah kasus yang menjadi kontroversi terkait statusnya sebagai komunitas adat yang diragukan karena memilih bersinergi dengan perubahan zaman, yakni Komunitas Adat Karuhun Urang (AKUR) yang berpusat di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Komunitas yang memegang Pikukuh Tilu sebagai tuntunan hidup mereka, memilih memelihara dan menjalankan tradisi leluhurnya walaupun mengalami banyak peristiwa diskriminasi dan tekanan politik dari berbagai rejim penguasa sejak dirintis pada 1870 M. Kondisi itu menyebabkan mereka harus berubah sesuai dengan kondisi sosial politik yang dihadapi, termasuk penyesuaian cara bermukim. Komunitas AKUR menyandarkan keputusan perubahan yang diambil berdasarkan mekanisme dawuh, yakni petunjuk dari para leluhur yang diturunkan kepada Rama Sepuh selaku pupuhu adat. Di masa sekarang, teritori mereka hadir dalam ‘teritori samar’ yang semula didekati dengan penelusuran ruang liminal dalam ritual sérén taun pada penelitian sebelumnya. Penelitian tersebut menemukan konsep puseur- waréh dalam konstruksi jejaring yang membentuk ‘teritori samar’ Komunitas AKUR, namun tidak dapat menjelaskan kenapa teritori tersebut menjadi ‘samar’ (Adisaputri dan Widiastuti: 2014, 2015, Adisaputri: 2015). Penelitian ini memberikan cara baru untuk melihat dinamika yang terjadi dalam Komunitas AKUR dan proses-porses pengambilan keputusan akan perubahan yang didasarkan pada sebuah mekanisme dawuh hingga permukiman mereka hadir dalam ‘samar’ seperti sekarang. Bagaimana pula mereka memelihara kehadirannya dalam kesamarannya tersebut. Penelitian ini bersifat kualitatif-eksploratif dengan menggunakan pendekatan interaksi simbolik. Interaksi-interaksi simbolik diekplorasi untuk menemukenali dan memetakan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam Komunitas AKUR. Kemudian, dianalisis untuk melihat pola-pola perubahan dan keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan dawuh. Kosmologi dasar sebagai kesadaran komunitas dalam meruang digali untuk kemudian dilihat bagaimana kesadaran tersebut diterjemahkan secara dinamis melalui dawuh. Kerangka pemikiran dibuat dengan elaborasi pendekatan interaksi simbolik menggunakan premis dasar Mead (1934), lima prinsip dasar metodologis dari Blumer (1969), dan tujuh prinsip dasar metodologis Denzin (1987). Khusus eksplorasi ritual ditambahkan analisis prosesi simbolik dari Turner (1969, 1974, 1987). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dawuh sebagai ‘gugusan informasi mengenai perubahan’ yang didapat melalui proses ngadapur. Turun dawuh menjadi titik penanda dawuh mewaktu-ruang (manca tengah) dalam kesadaran kosmik lulurung tujuh. Dawuh menjadi pengatur saturasi ‘teritori samar’ Komunitas AKUR di mana konsep-konsep baru muncul dalam upaya menjaga ketegangan relasi dalam jejaring sadapuran, jejaring dapur, dan jejaring balé yang merefleksikan teritori samar tersebut saat ini, termasuk permukiman warga penghayat di dalamnya. Konsep ini diekspresikan pada gunungan wayang kulit pusaka, relief Sri Resi Komara Tungga di Paséban (bangunan komunal), serta tumpeng sabogana dan sarandu yang ada di setiap ritual. Posisi dawuh terhadap kesadaran kosmik lulurung tujuh ngabandung ka dalapan keur disorang adalah ‘pembabakan perubahan’ lakon yang mengalami proses manca tengah di Buwana Panca Tengah. Waktu-ruang liminal hingga status liminal anggota komunitas menjadi bagian yang disadari dan dipelihara dengan pengaturan saturasi melalui dawuh. Dengan demikian Komunitas AKUR tak lagi berpaku pada tampilan formal rumah dan memilih bermukim berbaur dengan masyarakat umum. Kondisi liminal yang dipelihara dan dijaga dengan dawuh memungkinkan keberlanjutan Komunitas AKUR.