Lanskap budaya adalah salah satu bentuk bentang alam hasil intervensi manusia dengan kebudayaannya. Sejak konsep ini diperkenalkan oleh Otto Schluter (1908), dan dikembangkan oleh Carl Ortwin pada tahun 1925, konsep ini menjadi perbincangan hingga kini. Guna mewadahi kegiatan proteksi lanskap budaya sebagai salah satu jenis cagar budaya, World Heritage Convention_UNESCO mendirikan World Heritage Cultural Landscape (WHCL) pada tahun 1992. Lanskap budaya Cirebon merupakan bentuk bentang alam hasil kebudayaan masyarakat Cirebon, terbangun dari elemen-elemen intangible dan tangiblenya, tumbuh sejak zaman Kerajaan Cerbon pada abad e-15. Cirebon, dengan kekuatan alam dan budayanya, berpotensi untuk diangkat sebagai kawasan cagar budaya tingkat dunia. Tidak banyak penelitian di Indonesia yang mengangkat topik mengenai lanskap budaya, dan ini menjadi celah berharga sebagai kekuatan topik penelitian. Disertasi ini bertujuan mengidentifikasi elemen-elemen intangible dan tangible tradisi kebudayaan keraton, serta menggali pola dan makna ruang yang terbentuk dari elemen-elemen tersebut, sebagai perwujudan lanskap budaya Cirebon.
Melaui pendekatan kualitatif, yang terbagi atas tiga tahap penelitian, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penarikan verifikasi dan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan dua temuan penting, pertama, pada setiap tradisi kebudayaan keraton terkandung tiga elemen penting pembentuk ruang: (1) keberadaan tokoh panutan, Sunan Gunung Jati; (2) kegiatan tradisi; (3) tempat atau wadah kegiatan tradisi berupa keraton, kramat, rite kegiatan, dan desa para wargi. Ketiga elemen tersebut merupakan hasil akulturasi kebudayaan Islam, yang dibawa oleh para wali pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, dengan kebudayaan Hindu-Budha dan Kerajaan Cerbon berdiri. Kedua, ruang yang terbentuk dari elemen-elemen tradisi kebudayaan keraton-keraton di Cirebon terbagi atas dua pola, yaitu sebaran dan hierarki. Pola sebaran menunjukkan teritori keraton yang dikenal dengan istilah wewengkon. wewengkon ini tersebar di wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Kuningan, yang dikenal Ciayumajakuning. Pola hierarki ruang terdiri dari tiga tingkat berdasarkan makna yang terkandung pada ruang tersebut, yaitu (1) ruang inti meliputi keraton dan Astana Gunung Jati, (2) raung penyangga meliputi desa-desa tempat kramat-kramat, yang berada dibawah pengelolaan keraton, sebagai tempat kegiatan tradisi kebudayaan, (3) ruang pendukung meliputi desa-desa wargi, pendukung kegiatan tradisi kebudayaan keraton.
Temuan penelitian ini berkontribusi pada kebaharuan bidang keilmuan arsitektur dan arsitektur lanskap, yaitu (1) ruang kebudayaan keraton merupakan ruang abstrak, terbentuk dari elemen-elemen tradisi kebudayaan keraton pembentuk ruang; (2) hierarki ruang, khususnya ruang kebudayaan keraton-keraton Cirebon dipengaruhi oleh adanya figur tokoh keraton yang kuat, dalam hal ini Sunan Gunung Jati; (3) figur tokoh ini juga dapat mempengaruhi pola orientasi ruang, dalam penelitian ini adalah orientasi keraton menghadap ke Utara sebagai bentik pemuliaan terhadap tokoh Sunan Gunung Jati yang dimakamkan di Astana Gunung Sembung, di Utara Kota Cirebon; (4) pola ruang lanskap budaya Cirebon merupakan ruang-ruang yang tersebar di wilayah Ciayumajakuning, seperti yang diperlihatkan pada pola ruang wewengkon; (5) antara wewengkon di ruang pendukung dengan keraton dan Astana Gunung Sembung di ruang inti dihubungkan secara kultural dan spiritual; (6) keberadaan dan kelangsungan elemen-elemen dan ruang inti tradisi kebudayaan keraton yang sakral, di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, dapat menjadi materi untuk kriteria outstanding universal value dari World Heritage. Kesimpulan penelitian ini, yaitu pola ruang kebudayaan keraton berupa menyebar dan berhirarki, serta berorientasi kepada Astana Gunung Sembung, sebagai gambaran dari lanskap budaya Cirebon yang mengandung makna pemuliaan terhadap Sunan Gunung Jati. Kebaharuan penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi para pemangku kepentingan dalam mewujudkan wilayah Cirebon ketingkat yang lebih tinggi sebagai kawasan yang harus dipreservasi.