Paradigma pengelolaan sampah di Indonesia masih dilakukan dengan cara
pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan (3P), dengan menggunakan pendekatan
open dumping di tempat pemrosesan akhir (TPA) sebagaimana di Kota Denpasar,
Provinsi Bali, yang memiliki TPA Suwung. Penumpukan sampah dan air lindi dari
TPA tersebut telah mencemari hutan bakau di sekitarnya sehingga menyebabkan
pohon-pohon bakau mati. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi pengelolaan sampah
di Kota Denpasar, mengacu pada regulasi tentang pengelolaan sampah. Metode yang
digunakan yakni berupa penilaian sistem pengelolaan sampah secara kuantitatif dengan
menentukan nilai Zero waste Index (ZWI) dan penentuan teknologi pengelolaan
sampah yang diharapkan oleh masyarakat dan pemangku kepentingan untuk
ditingkatkan dengan menggunakan perhitungan Analythical Hierachy Process (AHP).
Penilaian ZWI dihitung berdasarkan seberapa besar sampah yang diolah dengan daur
ulang, komposting, insinerasi atau pembakaran, dan yang masuk ke lahan urug atau
landfill. Sementara AHP digunakan untuk menentukan pilihan teknologi yang kan
digunakan. Perhitungan eksisting dibantu dengan material flow sampah Kota Denpasar
untuk melihat alur dan seberapa besar sampah yang berhasil terolah. Kemudian
dilakukan proyeksi pada Tahun 2025 yang mengacu pada Perpres No. 97 Tahun 2017
untuk dikembangkan skenario pengelolaan sampah berdasarkan tiga kondisi yakni
pesimis, moderat, dan optimis dengan beroperasinya atau tanpa beroperasinya
Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL). Hasil nilai ZWI untuk kondisi
eksisting sebesar 0,03 sehingga hanya 3% sampah yang dapat diubah menjadi sumber
daya (virgin material). Kondisi skenario diperoleh pesimis sebsar 0,01; moderat
sebesar 0,03; dan optimis sebesar 0,20. Hasil pengolahan data menggunakan AHP
diperoleh teknologi daur ulang merupakan teknologi yang diharapkan pemangku
kepentingan untuk ditingkatkan di Kota Denpasar dimana aspek lingkungan dan
menumbuhkan kepedulian terhadap masyarakat jadi pertimbangan.