digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

COVER Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 1 Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 2 Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 3 Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB4 Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

BAB 5 Andini Hizbiyati
PUBLIC Irwan Sofiyan

PUSTAKA Andini Hizbiyati
PUBLIC Budi Cahyadi

Crude glycerol adalah gliserol yang memiliki kemurnian yang masih rendah dan hasil merupakan hasil samping di industri biodiesel dan industri oleokimia. Proses pemurnian untuk mendapatkan gliserol dengan kemurnian yang tinggi akan menghasilkan glycerine pitch. Glycerine pitch saat ini masuk ke dalam kategori limbah B3. Hingga saat ini glycerine pitch belum termanfaatkan dengan baik dan industri penghasil glycerine pitch harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk mengolahnya, yaitu sebesar US$400/ton. Glycerine pitch memiliki kandungan dan wujud yang berbeda dan dipengaruhi oleh proses sebelumnya. Glycerine pitch yang dihasilkan dengan melalui tahapan transesterifikasi mengandung 0-30% gliserol, 2% air, 40-60% ash dan 40-60% matter organic non glycerol (MONG). Komposisi senyawa organik dan anorganik yang masih tinggi dalam glycerine pitch menjadi salah satu petimbangan dalam menentukan cara alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya pengolahan limbah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan kembali senyawa yang bernilai dengan menggunakan proses ekstraksi. Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan untuk dapat mengetahui pengaruh jenis pelarut dalam proses ekstraksi, sehingga akan diperoleh jenis pelarut yang paling baik yang dapat memisahkan kandungan senyawa organik dan anorganik dalam sampel secara maksimal. Jenis pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut polar berupa etanol, aseton dan IPA. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pelarut terbaik dalam proses ekstraksi adalah IPA. Penggunaan IPA sebagai pelarut mampu untuk memisahkan senyawa organik dan anorganik secara maksimal apabila dibandingkan dengan etanol dan aseton. Proses pemisahan yang maksimal ditunjukkan dengan hasil kadar senyawa organik dalam larutan ekstrak yang tinggi. Pada ekstraksi dengan menggunakan IPA, kadar senyawa organik dalam larutan ekstrak mencapai 99,48% pada sampel WLH dan 98,15% pada sampel WLF dan merupakan kadar yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan pelarut lainnya. IPA juga mampu menghasilkan yield senyawa organik sebesar 93,18% pada sampel WLH dan 68,15% pada sampel WLF dan merupakan hasil tertinggi. Dengan hasil tersebut maka larutan IPA dipilih sebagai pelarut terbaik dalam proses ekstraksi sampel glycerine pitch. Selain jenis pelarut, dalam penelitian ini juga menentukan adanya pengaruh perbedaan rasio sampel terhadap volume pelarut pada proses ekstraksi. Rasio terbaik dalam proses ekstraksi sampel glycerine pitch ditentukan dengan melihat kadar senyawa organik dan juga yield yang paling tinggi. Jenis variasi rasio yang digunakan adalah 1:3, 1:5, dan 1:10. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio terbaik yang mampu menghasilkan yield senyawa organik tertinggi adalah rasio 1:10 yaitu sebesar 93,18% pada sampel WLH dan 71,65% pada sampel WLF. Kadar senyawa organik yang dihasilkan pada proses ekstraksi dengan menggunakan rasio 1:10 merupakan kadar tertinggi apabila dibandingkan dengan rasio yang lainnya, yaitu 98,37% pada sampel WLH dan 97,77% pada sampel WLF. Glycerine pitch dari berbagai industri olekimia memiliki tekstur yang berbeda dari sampel yang cair hingga sangat padat. Jenis pelarut dan rasio terbaik digunakan untuk proses ekstraksi serta menggunakan kondisi proses yang sama yaitu pengadukan dengan kecepatan 200 rpm selama 3 jam pada temperatur ruang. Namun pada proses ekstraksi ini menunjukkan bahwa sampel glycerine pitch dengan tekstur lebih padat tidak mampu larut dengan baik pada temperature ruang, sehingga penambahan temperature proses hingga tetap pada 50?C diperlukan untuk dapat melarutkan sampel glycerine pitch lebih baik.