DKI Jakarta mengalami beberapa kali kejadian banjir cukup besar, terutama setelah terjadinya
perubahan tata guna lahan yang semakin massif dari tahun ke tahun. Salah satu kejadian banjir
besar yang terjadi yaitu pada awal tahun 2020, yang mana salah satu titik konsentrasi banjir
terdapat pada kawasan Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Hal tersebut tidaklah baik
mengingat Setiabudi sebagai area segitiga emas perekonomian di DKI Jakarta, sehingga
kejadian banjir yang terjadi pada kawasan ini akan cukup mengganggu laju perekonomian DKI
Jakarta sebagai sebuah provinsi. Kajian drainase dilakukan dengan mengambil 3 kelurahan
sebagai bahasan yaitu Kelurahan Setiabudi, Karet, dan Karet Kuningan. Saluran drainase yang
digunakan merupakan saluran drainase PHB. Keluaran dari sistem drainase pada lokasi kajian
yaitu mengalir ke Kali Krukut, Kali Cideng, dan Waduk Setiabudi Barat. Luas area drainase
kajian yaitu 285.55 ha. Stasiun hujan yang berpengaruh merupakan Stasiun Hujan Cawang dan
Kemayoran. Adapun seri data yang digunakan yaitu selama 15 tahun (2004-2018). Kriteria
curah hujan rencana yang digunakan yaitu dengan periode ulang 10 tahun dan 25 tahun sebagai
kontrol.
Berdasarkan hasil pemodelan SWMM, model drainase dengan periode ulang 10 tahun tidak
menghasilkan luapan banjir pada semua saluran drainase sedangkan untuk model drainase
dengan periode ulang 25 tahun menghasilkan luapan banjir pada beberapa nodes dengan total
volume banjir 10.727 m3. Kemudian, drainase di lokasi kajian (Setiabudi) masih mampu
mengampu debit drainase dengan batas penerapan curah hujan rancangan yaitu 232 mm.
Apabila diterapkan nilai di atas 232 mm, maka terdapat saluran drainase yang meluap pada
salah satu atau beberapa dari saluran drainase di lokasi kajian. Alternatif solusi yang mungkin
untuk permasalahan banjir di lokasi drainase kajian yaitu penerapan sumur resapan, mengingat
peruntukan lahan di sekitar lokasi kajian berdasar Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 1 Tahun
2012 mengenai RTRW 2030, yaitu untuk permukiman dan perkantoran. Dibutuhkan sedikitnya
60 buah sumur resapan di Kelurahan Setiabudi dan 77 buah sumur resapan di Kelurahan Karet
Kuningan.
Selanjutnya, debit banjir maksimum pada periode ulang 100 tahun menggunakan metode SCS
di Kali Krukut sebesar 233.47 m3/det. Periode ulang 100 tahun ditentukan berdasarkan kriteria
desain untuk sungai di ibukota negara, yang diambil dari acuan Peraturan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 28 Tahun 2015 mengenai Penentuan Garis
Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Dengan alternatif solusi berupa penerapan
tanggul, area genangan banjir yang sebelumnya berjumlah 1.37 ha turun secara signifikan
menjadi 0.31 ha, dengan tingkat penurunan sebesar 77.4%. Kemudian, penerapan
perbandingan kondisi tata guna lahan tahun 1990 dan 2012 menghasilkan beda kondisi aliran
yang tidak terlalu signifikan, yang mana perbedaan area genangan banjir sebesar 21.9% (tahun
1990 sebesar 1.07 ha dan tahun 2012 sebesar 1.37 ha).
Kemudian, debit banjir maksimum pada periode ulang 100 tahun menggunakan metode
rasional di Kali Cideng sebesar 353 m3/det. Berdasarkan analisis penampang Kali Cideng
terbaik, diperoleh lebar saluran 22 m dan tinggi total (H) ditambah tinggi jagaan sebesar 11.35
m. Adapun outlet drainase yang mengalir ke Kali Cideng setidaknya harus memiliki elevasi di
atas 15 mdpl. Selanjutnya, berdasarkan analisis terhadap Waduk Setiabudi Barat, menunjukkan
bahwa belum diperlukan pola operasi dari waduk untuk mengeluarkan air dari waduk (Vout
belum dibutuhkan) dengan kapasitas tampungan waduk (271,654.3 m3) masih jauh lebih besar
dari debit drainase yang masuk (75.17 m3). Oleh karena itu, peristiwa banjir di J10 dan J40
dapat diantisipasi dengan melakukan modifikasi terhadap slope dari kedua saluran drainase
tersebut.