Salah satu tujuan peningkatan nilai tambah mineral melalui proses pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri, sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 4/2009 pasal 102
dan 103 adalah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak perusahaan dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satu jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) adalah royalti mineral. Berbagai aturan telah diterbitkan untuk
mendukung kebijakan tentang nilai tambah tersebut, termasuk kebijakan pelarangan
ekspor bahan mentah atau konsentrat. Salah satu aturan lain yang diterbitkan untuk
memberikan penjelasan detail tentang royati mineral adalah PP No. 9 Tahun 2012.
Penelitian ini mengkaji dampak dari kebijakan nilai tambah pertambangan tembaga,
khususnya pengembangan industri hilir domestik tembaga, terhadap perekonomian
negara. Salah satu implementasi dari kebijakan tersebut adalah adanya rencana
pembangunan smelter tembaga baru yang diharapkan dapat mengolah seluruh
produksi konsentrat tembaga nasional. Selain menghasilkan dan menjual katoda
tembaga sebagai produk utama, smelter tembaga juga menjual produk samping yang
yaitu lumpur anoda yang mengandung logam-logam berharga yang merupakan
mineral ikutan tembaga seperti Au, Ag, Bi, Pd, PT, Se, Te dan Pb. Namun mineral
berharga tersebut belum dikenakan royalti atas penjualannya.
Terlambatnya pemberlakuan tarif royalti sesuai dengan PP No.9 Tahun 2012 untuk
pertambangan tembaga atas unsur tembaga, emas dan perak menyebabkan terjadinya
selisih penerimaan negara dari royalti unsur-unsur tersebut untuk tahun 2012, 2013,
dan 2014 berturut-turut sebesar 2,4 triliun rupiah, 1,96 triliun rupiah, dan 2,08 triliun
rupiah. Sementara itu untuk kurun waktu yang sama terdapat potensi penambahan
penerimaan negara sekitar 40–42 milyar rupiah/tahun, jika lumpur anoda yang dijual
oleh smelter dikenakan royalti atasnya.