digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

COVER Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 1 Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 2 Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 4 Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

PUSTAKA Garup Lambang Goro
PUBLIC Alice Diniarti

Data dari berbagai negara yang dihimpun oleh UNISDR (United Nation Office for Disaster Reduction) dinyatakan bahwa jumlah korban bencana meninggal dunia paling tinggi adalah diakibatkan dari bencana geofisik (gempa bumi, tsunami dan gunung api) meskipun secara frekuensi kejadiannya adalah rendah. Sedangkan rerata kerugian ekonomi akibat gempa bumi, Indonesia berada diurutan ke tiga tertinggi setelah Jepang dan Amerika Serikat (GEM, 2018 dalam UNDRR, 2019). Pentingnya studi ancaman gempa di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983 dan terus berkembang hingga sekarang dengan berbagai penyempurnaan, baik dalam aspek keterbaruan data-data sumber gempa, pemilihan GMPE (Ground Motion Prdiction Equation) terbaru, serta metode analisisnya. Peta ancaman dan sumber gempa terkini dipublikasikan tahun 2017. Sementara untuk studi terkait risiko gempa dilakukan oleh Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011 dan dikembangkan pada tahun 2016 dengan mempertimbangkan site-spesifik. Peta risiko tersebut disajikan dalam bentuk indeks risiko (rendah, sedang dan tinggi) dan belum memperhitungkan kerentanan bangunan, sehingga belum menyajikan nilai kerugian yang sebenarnya. Berdasar hal tersebut maka sangatlah perlu dilakukan studi risiko gempa dengan memperhitungkan keterbaruan sumber gempa, GMPE, site spesifik kondisi tanah, eksposur dan kerentanan bangunan, sehingga dihasilkan peta nilai kerugian bangunan akibat gempa yang lebih memadahi. Tahapan penelitian dimulai dari Analisis Hazard menggunakan metode Classical PSHA untuk menghasilkan peta ancaman disajikan dalam peta percepatan puncak gempa di batuan dasar (SB) dan di permukaan, pada perioda 0 detik (PGA), 0,2 detik SA(0.2) dan 1,0 detik SA(1.0) untuk probabilitas terlampaui masing-masing 10% dan 2 % dalam 50 tahun, dilanjutkan penyusunan Peta Faktor Amplifikasi dan komparasi terhadap nilai faktor amplifikasi di Peraturan Bangunan (SNI-1726-2019). Tahap berikutnya adalah komparasi metode Classical PSHA dengan metode Event-Based PSHA guna menentukan nilai SES (Stochastic Event Set) yang memadahi dimana selanjutnya digunakan untuk analisis risiko dengan metode Event-Based Risk Analysis. Hasil analisis hazard dengan metode Classical PSHA di batuan dasar (SB) pada perioda 0 detik (PGA), 0,2 detik SA(0.2) dan 1,0 detik SA(1.0) untuk probabilitas terlampaui masing-masing 10% dan 2 % dalam 50 tahun menunjukkan kesesuaian dengan Peta Sumber dan Bahaya Gempa 2017 pada perioda dan probabilitas terlampaui yang sama. Faktor amplifikasi hasil perhitungan berkesesuaian dengan nilai pada SNI-1726-2019 pada hampir semua kelas situs. Untuk komparasi metode Classical PSHA dan Event-Based PSHA menunjukkan hasil bahwa semakin besar nilai SES akan menghasilkan nilai standar deviasi yang semakin kecil. Dengan mempertimbangkan kemiripan perbandingan peta dan nilai deviasi standar, maka untuk analisis risiko dengan menggunakan metode Event-Based digunakan SES=50000 dan SES=200000 untuk probabilitas terlampaui masing-masing 10% dan 2 % dalam 50 tahun. Metode penentuan jenis struktur bangunan berdasar data jenis lantai dari BPS 2010, dapat digunakan untuk analisis risiko gempa pada tingkat nasional, setelah dilakukan verifikasi terhadap survey visual melalui fasilitas street view pada googlemap untuk sebuah area perkotaan, dimana memberikan nilai persentase jenis-jenis struktur bangunan yang mendekati. Hasil analisis risiko menunjukkan bahwa kerugian struktur bangunan akibat gempa tertinggi per kabupaten/kota dominasi di Pulau Jawa, hal ini sangat dimungkinkan karena kepadatan bangunan dan populasi yang tinggi di Pulau Jawa. Kerugian total bangunan akibat gempa per Kabupaten/ Kota, pada eksposur bangunan hunian diperkirakan mencapai maksimum Rp. 56,5 Triliun untuk gempa periode ulang 475tahun dan Rp. 170,9 Triliun untuk periode ulang 2475 tahun. Pada bangunan komersial kerugian struktur bangunan akibat gempa diprediksi mencapai maksimum Rp. 44 Triliun untuk periode ulang 475tahun dan Rp. 147 Triliun untuk periode ulang 2475 tahun, sedangkan untuk bangunan industri mencapai kerugian maksimum sebesar Rp. 3,8 Triliun untuk periode ulang 475tahun dan Rp. 12 Triliun untuk periode ulang 2475 tahun. Dengan tersusunnya Peta Total Kerugian Bangunan Akibat Gempa Per Kabupaten/Kota untuk ekposur: bangunan hunian, bangunan komersial dan bangunan industri, diharapkan dapat digunakan sebagai acuan penyiapan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat dan pemerintah khususnya lembaga Penanggulangan Bencana.