ABSTRAK RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira BAB 1 RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira BAB 2 RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira BAB 3 RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira BAB 4 RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira BAB 5 RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira BAB 6 RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira PUSTAKA RONNY BOWO LEKSONO
PUBLIC Yoninur Almira
Pembangunan perdesaan di Indonesia telah menjadi perhatian banyak pihak
khususnya di era reformasi, hal ini didasari oleh ragam pemikiran seperti
kemiskinan di perdesaan, ketertinggalan pembangunan, ketimpangan desa-kota,
urbanisasi serta upaya pengembangan konsepsi pembangunan yang utuh dan
menyeluruh. Sistem demokrasi dan otonomi daerah di Indonesia telah pula
mendorong banyak pihak untuk berebut suara masyarakat dengan mayoritas
penduduknya berada di perdesaan, tentunya sebagai lumbung suara yang potensial
dalam memenangkan kompetisi. Sementara itu pembangunan perdesaan di
Indonesia dalam perjalannya bukan pula tanpa persoalan, persoalan tersebut
diantaranya adalah infrastruktur dan keterisolasian, keterbatasan sumberdaya
manusia, keterjangkauan sarana prasarana, teknologi serta efektifitas pelaksanaan
program/kegiatan.
Pemerintah provinsi dengan komponen eksekutif dan legislatif dalam sistem
perpolitikan daerah di Indonesia, secara politis bagai tidak bisa dipisahkan dari
kewajibannya di desa, karena keterwakilan rakyat hingga kepemimpinan daerah
di tingkat provinsi sangat ditentukan oleh suara rakyat yang banyak di desa dan
berkontribusi langsung baik dalam pemilihan legislatif maupun kepala daerah di
tingkat provinsi. Namun demikian bila regulasi membatasi peran provinsi untuk
turut serta membangun desa yang telah ditetapkan menjadi kewenangan
kabupaten/kota, maupun kewenangan desa itu sendiri dengan adanya otonomi
desa, tidakkah dapat menimbulkan persoalan dan dilema dalam perencanaan
pembangunan? Hal ini menjadi indikasi yang perlu didalami terkait adanya
persoalan dalam perencanaan pembangunan di provinsi khususnya berkaitan
dengan pembangunan desa, dan dengan mengambil studi kasus perencanaan
pembangunan jalan desa di Provinsi Riau, maka penelitian ini mencoba
mengembangkan konsepsi Perencanaan di Bawah Tekanan yang telah diuraikanii
oleh Friend dan Hickling (2005), yang diawali dengan membangun defenisi terkait
apa yang dimaksud dengan Perencanaan di Bawah Tekanan beserta bentuk-bentuk
tekanan dalam perencanaan, serta menemukenali bentuk tekanan lainnya dalam
perencanaan yang digali dalam kasus studi.
Penelitian ini bersifat kualitatif, menggunakan metode deskriptif dengan
dukungan pemahaman terkait bagaimana membangun kerangka teori secara
ilmiah (building block theory), stakeholder analysis serta net-map analysis guna
memperkuat argumen dan akurasi penelitian. Dan dari analisis dapat dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan perencanaan di bawah tekanan adalah sebuah
proses rasional dalam menyusun rencana atau memutuskan tindakan kebijakan
pembangunan, dalam mencapai tujuan untuk menuju masa depan yang lebih baik,
yang mengalami kondisi dan / atau mengalami tindakan intimidasi atau intervensi
yang kuat baik melalui persuasi, debat atau bahkan paksaan, untuk membuat
perubahan dari rencana atau kebijakan yang seharusnya dilakukan.
Sebagai kesimpulan akhir penelitian, yang diperoleh dari telaah terhadap regulasi
serta analisis peran dan kerterkaitan pemangku kepentingan kunci, maka dapat
dikatakan bahwa regulasi terkait studi belum sepenuhnya sejalan, bahkan secara
prinsip terdapat benturan yang mengakibatkan tekanan dalam perencanaan.
Tekanan ini ditemukan dalam dua hal; 1) Tidak selarasnya sistem perpolitikan dan
sistem perencanaan pembangunan khususnya dalam kaitannya dengan pembagian
kewenangan pada tingkatan provinsi dalam membangun desa, dan 2) Tidak
sejalannya antara mekanisme perencanaan dan penganggaran, dalam kaitannya
dengan peran eksekutif dan legislatif di provinsi pada proses perencanaan
pembangunan daerah. Tekanan tersebut kemudian diidentifikasi sebagai bentuk
tekanan baru dari 6 (enam) bentuk tekanan yang telah dikemukakan oleh Friend
dan Hickling (2005) dalam bukunya “Planning Under Pressure”. Sehingga
kemudian melahirkan bentuk tekanan yang ke-7 (tujuh) dalam perencanaan, dan
tekanan ini saya beri nama dengan “Conflegs”.