Keragaman aktifitas geologi di pusat cincin api pasifik menciptakan bentang alam yang sangat indah di negeri ini. Namun disisi lain tersimpan banyaknya ancaman aktifitas geologi yang dapat menjadi bahaya bagi masyarakatnya. Gempa bumi, letusan gunung api, banjir, liquifasi, longsor dan tsunami telah banyak terjadi dan merugikan negeri ini. Sayangnya fakta sejarah tersebut belum mampu menyadarkan pemerintah dalam memperkuat pertahanan mitigasi bencananya.
Dalam pameran Beauty of The Beast ini penulis meminjam dua fenomena di dua kota yang berbeda untuk menyoroti persoalan kesadaran bencana masyarakat. Maraknya pariwisata di daerah rawan bencana gunung api akan disampaikan dalam karya yang berjudul S16, sedangkan masalah pembangunan kota di daerah rawan bencana banjir ada dalam karya Sometimes Rains Come Without Drizzles.
Penulis melihat minimnya kesadaran bencana masyarakat melalui teori ketidaksadaran Carl Jung dan teori kesadaran Baars. Preconscious mind Freud kemudian menginspirasi penulis untuk membuat karya yang mampu memanggil kembali ingatan masyarakat pada fenomena bencana alam. Penulis menggunakan teori estetika relasional Bourrioud untuk membantu penulis mendapatkan fakta lapangan dan ketepatan konteks karyanya. Instalasi dipilih sebagai medium presentasi dan readymade dipilih penulis untuk mendapatkan pengalaman yang sedekat mungkin dengan audiens. Dalam hal ini teori art as experience Dewey dan depiction representation Stacker digunakan sebagai acuan penting.
Secara keseluruhan Beauty of The Beast ditampilkan bukan untuk menteror audiens, namun sebaliknya untuk mengingatkan masyarakat akan ancaman bencana alam disekitarnya. Dengan merepresentasikan fenomena bencana alam itu sendiri penulis berusaha mengajak audiens untuk lebih peka terhadap fakta ilmiah lingkungan mereka sendiri.