Indonesia memiliki beragam pangan lokal yang dapat menjadi pangan pokok
sebagai upaya diversifikasi pangan. Kearifan lokal yang dimiliki Kampung Adat
Cireundeu dapat menjadi contoh dalam pengelolaan pangan lokal untuk kebutuhan
sehari-hari. Potensi kearifan lokal tersebut perlu dikaji sebelum dijadikan model
pengelolaan pangan di wilayah lain. Pengambilan data dilakukan dengan
wawancara dan kuisioner, kemudian diolah menggunakan metode Life Cycle
Assesment, analisis ekonomi dan Multidimensional Scaling. Hasil analisis LCA
menunjukkan untuk mengolah 1558,83 kg umbi menjadi 311.766 kg beras
singkong memerlukan input 2,17 kg urea; 40,69 kg pupuk kandang; 2 L solar dan
9352.98 L air. Proses tersebut menghasilkan polutan berupa gas rumah kaca (2,37
kg CO¬2-eq; 1,92x10-5 kg CH4-eq; 9,61x10-5 kg N2O-eq), dan dampak asidifikasi
(1,53x10-4 kg SO2-eq; 2,46 kg NO2-eq; 1,86 kg NH3-eq). Hasil analisis jumlah
pengeluaran menunjukkan konsumsi beras singkong yang diproduksi secara lokal
dapat menekan jumlah pengeluaran bulanan dengan rata-rata pengeluaran untuk
kebutuhan pangan per kapita sejumlah Rp. 547.666,67. Jumlah tersebut lebih
rendah dari pengeluaran masyarakat kota (Rp. 659.259,85) dan diatas pengeluaran
masyarakat desa (Rp. 533.857,43) di wilayah Jawa Barat. Hasil penilaian Rapid
Appraisal dengan analisis Multidimensional Scaling menunjukkan indeks
keberlanjutan rata-rata sebesar 56,1, dimana Kampung Adat Cireundeu memiliki
tingkat keberlanjutan yang cukup. Berdasarkan studi tersebut, pengelolaan pangan
masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki potensi sebagai model pengelolaan
pangan di wilayah yang memiliki lahan kurang subur karena pengelolaan pangan
tersebut dapat menekan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan, dapat
mengurangi pengeluaran sehari-hari untuk bahan pangan dan memiliki tingkat
keberlanjutan yang cukup. Untuk menerapkan model pengelolaan pangan
Kampung Adat Cireundeu di wilayah lain stakeholder yang terlibat perlu
memperhatikan beberapa komponen, diantaranya adalah pengaruh alih fungsi lahan
terhadap ketersediaan air dan jenis pangan yang dibudidaya dapat tumbuh dalam
kondisi lahan kritis.