digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia memiliki beragam pangan lokal yang dapat menjadi pangan pokok sebagai upaya diversifikasi pangan. Kearifan lokal yang dimiliki Kampung Adat Cireundeu dapat menjadi contoh dalam pengelolaan pangan lokal untuk kebutuhan sehari-hari. Potensi kearifan lokal tersebut perlu dikaji sebelum dijadikan model pengelolaan pangan di wilayah lain. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan kuisioner, kemudian diolah menggunakan metode Life Cycle Assesment, analisis ekonomi dan Multidimensional Scaling. Hasil analisis LCA menunjukkan untuk mengolah 1558,83 kg umbi menjadi 311.766 kg beras singkong memerlukan input 2,17 kg urea; 40,69 kg pupuk kandang; 2 L solar dan 9352.98 L air. Proses tersebut menghasilkan polutan berupa gas rumah kaca (2,37 kg CO¬2-eq; 1,92x10-5 kg CH4-eq; 9,61x10-5 kg N2O-eq), dan dampak asidifikasi (1,53x10-4 kg SO2-eq; 2,46 kg NO2-eq; 1,86 kg NH3-eq). Hasil analisis jumlah pengeluaran menunjukkan konsumsi beras singkong yang diproduksi secara lokal dapat menekan jumlah pengeluaran bulanan dengan rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan per kapita sejumlah Rp. 547.666,67. Jumlah tersebut lebih rendah dari pengeluaran masyarakat kota (Rp. 659.259,85) dan diatas pengeluaran masyarakat desa (Rp. 533.857,43) di wilayah Jawa Barat. Hasil penilaian Rapid Appraisal dengan analisis Multidimensional Scaling menunjukkan indeks keberlanjutan rata-rata sebesar 56,1, dimana Kampung Adat Cireundeu memiliki tingkat keberlanjutan yang cukup. Berdasarkan studi tersebut, pengelolaan pangan masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki potensi sebagai model pengelolaan pangan di wilayah yang memiliki lahan kurang subur karena pengelolaan pangan tersebut dapat menekan penggunaan sumber daya alam secara berlebihan, dapat mengurangi pengeluaran sehari-hari untuk bahan pangan dan memiliki tingkat keberlanjutan yang cukup. Untuk menerapkan model pengelolaan pangan Kampung Adat Cireundeu di wilayah lain stakeholder yang terlibat perlu memperhatikan beberapa komponen, diantaranya adalah pengaruh alih fungsi lahan terhadap ketersediaan air dan jenis pangan yang dibudidaya dapat tumbuh dalam kondisi lahan kritis.