Pembangunan kawasan perkotan sejatinya dapat mengakomodasi kebutuhan penduduknya untuk berkegiatan, yang mana termasuk didalamnya perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Pembangunan Kawasan Berorientasi Transit (KBT) atau Transit-Oriented Development (TOD) menjadi salah satu strategi untuk mendorong masyarakat agar beralih menggunakan moda transportasi publik dan menyongsong pembangunan secara lebih padat dengan fungsi kegiatan yang variatif disekitarnya, sehingga pemanfaatan pembangunan dapat lebih efisien. Pengembangan kawasan TOD MRT Dukuh Atas merupakan yang pertama kali dibangun, dan diklasifikasikan sebagai TOD Urban yang melayani DKI Jakarta dan sekitarnya. Keberadaan TOD dan simpul transit ini berpotensi untuk membangkitkan nilai lahan dan bangunan disekitarnya secara signifikan. Akan tetapi, instrumen keuangan eksisting pemerintah dinilai belum mampu untuk menangkap manfaat tersebut secara lebih optimal, dikarenakan pengenaan pajak dan retribusi belum memasukkan variabel ekonomi spasial dalam komponen penilaian NJOP. Hal ini sikarenakan manfaat ekonomi yang ditimbulkan beriringan dengan faktor lokasi dari lahan dan properti. Penamngkapan manfaat ini merupakan skema dari Land Value Capture (LVC), yang mana konsep dari instrumen Tax Increment Financing (TIF) dapat disisipkan melalui formulasi dari PBB-P2. Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif berupa analisis ekonomi spasial dan spatial hedonic pricing model. Didapati bahwa terdapat kelas delineasi terdampak manfaat ekonomi, pola dan keterkaitan spasial terhadap harga jual yang ditawarkan properti, serta variabel yang berkontribusi dalam kenaikan harga jual properti. Temuan studi dapat digunakan sebagai konponen formulasi pembaharuan NJOP-P2 dan juga modifikasi formulasi PBB-P2 Provinsi DKI Jakarta.