digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang seringkali menyertai pasien HIV/AIDS. Baik HIV/AIDS maupun tuberkulosis memerlukan terapi dengan obat yang tidak sedikit. Penggunaan obat yang banyak atau polifarmasi dapat memicu terjadinya interaksi obat serta efek obat yang tidak diinginkan atau reaksi obat merugikan (ROM). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan potensi interaksi obat pada pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis, dugaan ROM yang terjadi, serta rekomendasi terapi untuk pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara retrospektif pada pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis yang menerima terapi tuberkulosis di Poliklinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2013. Dari penelitian ini diperoleh 48 pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi, yaitu pasien usia dewasa, menerima terapi tuberkulosis di Poliklinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2013, dan tercatat menerima terapi tuberkulosis serta terapi antiretroviral. Dari 48 pasien tersebut, ditemukan 109 potensi kejadian interaksi obat dengan signifikansi mayor, 299 potensi kejadian interaksi obat dengan signifikansi moderate, dan 58 potensi kejadian interaksi obat dengan signifikansi minor. Dugaan ROM dengan jumlah terbanyak yang ditemukan pada penelitian ini adalah 8 kejadian gangguan saluran pencernaan, 5 kejadian drug eruption, 5 kejadian drug induced liver injury (DILI), dan 4 kejadian neuropati perifer. Pasien yang menerima obat antituberkulosis (OAT) kategori 1 direkomendasikan untuk menggunakan ARV tenofovir, lamivudin, dan efavirenz, sedangkan pasien yang menerima OAT kategori 2 direkomendasikan untuk menggunakan ARV zidovudin, lamivudin, dan efavirenz. Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa terdapat banyak potensi interaksi obat dan dugaan ROM pada pasien HIV/AIDS dengan koinfeksi tuberkulosis. Untuk mengatasinya dapat dipilih obat lain yang berinteraksi minimal atau memberikan obat lain untuk mencegah terjadinya efek dari interaksi obat maupun ROM.