Interaksi fisika dan kimia antar bahan aktif dan bahan aktif dengan bahan
pembantu dapat terjadi selama proses produksi dan penyimpanan sediaan obat
padat. Hal ini disebabkan adanya keterlibatan energi termik dan mekanik selama
proses produksi dan perubahan kondisi selama penyimpanan. Interaksi tersebut
dapat mengakibatkan perubahan karakter fisikokimia dan stabilitas obat di dalam
sediaan. Oleh karena itu, penelitian tentang interaksi penting dilakukan sebagai
dasar untuk membangun formula yang memenuhi persyaratan.
Selama ini Metode Kontak Panas (MKP) Kofler telah dikenal sebagai metode
sederhana namun akurat untuk mengidentifikasi jenis interaksi fisika antara dua
padatan. Keterbatasan metode tersebut adalah tidak dapat digunakan untuk
mendeteksi interaksi bahan termolabil. Pada tahap pertama penelitian ini, dicoba
dikembangkan Metode Kontak Dingin (MKD) berdasar proses rekristalisasi dari
larutan jenuh untuk bahan termolabil dan termostabil. Percobaan MKD dilakukan
terhadap kombinasi obat : asetaminofen – pseudoefedrin HCl (AP) menggunakan
etanol; metampiron - fenilbutason (MF) menggunakan aseton; levodopa –
benserazid HCl (LB) menggunakan asam format; dan amoksisilina trihidrat –
kalium klavulanat (ATH – KK) menggunakan dapar fosfat pH 6,8. Konfirmasi
dengan metode Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Powder X-Ray
Diffractometer (PXRD), disimpulkan bahwa AP merupakan campuran
eutektikumumum dengan suhu eutektikumum 113°C; MF campuran
peritektikumumum dengan suhu peritektikumum 149°C; dan LB peritektikumum
dengan suhu peritektikumum 163,7°C. Isolat interaksi ketiga kombinasi bahan
aktif tersebut menunjukkan karakter fisika yang sesuai.
Berbeda dengan yang teramati pada kombinasi bahan aktif yang lain, daerah
kontak kombinasi ATH – KK tidak menunjukkan profil leburan namun
mengalami pengarangan pada suhu 200-205ºC. Termogram campuran fisikanya
tidak menunjukkan kurva leburan dengan kurva eksotermik ATH – KK yang
bersatu pada fraksi molar 0,5 : 0,5. Data MKD dan DSC tidak menggambarkan
suatu jenis interaksi fisika, namun lebih mengindikasikan bahwa hidrolisis ATH
dan KK berlangsung pada suhu yang berdekatan dan/atau terjadi interaksi kimia
antara hasil degradasi keduanya pada suhu tinggi. Sebagai lanjutan MKD
dilakukan isolasi interaksi ATH – KK dengan metode beku kering, menggunakan
pelarut dapar fosfat pH 6,8. Karakterisasi dengan DSC menunjukkan bahwa isolat
campuran beku kering (AKBK) pada seluruh perbandingan menunjukkan suhu
lebur yang sama, berkisar antara 194-201,8°C; memperkuat dugaan terbentuknya
interaksi kimia antara ATH – KK.
Analisis struktur dengan metode Fourier Transform Infra Red (FTIR)
menunjukkan pengurangan spektra beta laktam pada bilangan gelombang 1764
cm
-1
, amina pada 1580 cm
-1
, dan menajamnya serapan amida pada bilangan
gelombang 1650-1700 cm
-1
(serapan amida). Analisis dengan Neutron Magnetic
Resonance (NMR) 500 MHz menunjukkan munculnya spektra H baru pada posisi
3,74 ppm yang terikat pada C 58 ppm, memperkuat dugaan terjadinya perubahan
struktur campuran setelah proses beku kering. Perubahan struktur tersebut diduga
terjadi dengan pembukaan cincin beta laktam KK yang didorong oleh keberadaan
gugus amina ATH yang dapat diikuti oleh reaksi intermolekular antara hasil
degradasi KK dengan ATH.
Pada tahap selanjutnya diteliti kemungkinan terjadinya interaksi ATH – KK pada
keadaan padat, tanpa keterlibatan dapar. Untuk mengetahui karakter padatan
masing-masing komponen, pertama-tama ditentukan struktur kristal tunggal ATH
dan KK. Diperoleh data bahwa kristal ATH dan KK memiliki sistem kristal yang
sama yaitu ortorombik P212121, dengan 4 molekul pada setiap kisi dan volume kisi
masing-masing 1950 ?
3
dan 930 ?
3
. ATH merupakan suatu channel hydrate
(hidrat kanal), jenis hidrat yang mudah melepas molekul air kristal dari kisinya.
Sementara KK memiliki empat atom K pada setiap sel yang menyebabkannya
bersifat sangat polar dan higroskopis. Dengan polaritas dan bentuk kristal planar
KK akan mudah berinteraksi dengan molekul air ATH. Struktur tiga dimensi
kedua senyawa tersebut menunjukkan bahwa gugus laktam membentuk geometrik
siku terhadap gugus pentasiklik yang menyebabkan elektron sunyi gugus laktam
tidak dapat beresonansi sehingga mudah mengalami hidrolisis.
Data DSC-PXRD simultan menunjukkan bahwa ATH mengalami anhidratasi
pada suhu 100°C dan terurai pada suhu 160ºC. Sementara itu termogram KK
menunjukkan transisi eksotermik pada suhu 180°C. Campuran ATH – KK fraksi
molar ATH 0,5 menunjukkan kurva eksotermik baru pada suhu 145°C, yang
diperkirakan merupakan suhu terbentuknya interaksi kimia pada suhu tinggi.
Campuran tersebut kemudian terdekomposisi bersama pada suhu 180-220°C.
Pada tahap berikutnya dilakukan penelitian pengaruh perlakuan terhadap
campuran ATH – KK, yaitu pemanasan pada suhu 50°C/30 menit (AKP),
penggerusan dengan mortar mekanik 100 putaran per menit/20 menit (AKG), dan
penggerusan dengan etanol (AKGE). Termogram DSC menunjukkan bahwa
penggerusan dan pemanasan meningkatkan mobilitas air kristal ATH.
Penggerusan dengan etanol diduga menyebabkan integrasi etanol ke dalam kisi
ATH dan KK. Difraktogram seluruh campuran hasil perlakuan menunjukkan
penurunan kristalinitas campuran setelah perlakuan. Foto SEM menggambarkan
bahwa struktur permukaan campuran ATH – KK menjadi tidak teratur dan lebih
berpori. Hasil analisis FTIR dan NMR tidak menunjukkan terbentuknya ikatan
baru pada ketiga perlakuan, hanya pelebaran spektra ikatan pada bilangan
gelombang 2500-3500 cm
-1
. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah perlakuan
terjadi interaksi antara ATH – KK yang melibatkan air tanpa menyebabkan
perubahan struktur. Namun demikian, keterlibatan air dan perubahan struktur
permukaan selanjutnya terbukti dapat menurunkan stabilita potensi ATH. Hasil uji
stabilita pada suhu 26±2°C dengan kelembaban relatif 65±5% dan 84±2%
menunjukkan bahwa degradasi ATH di dalam campuran terjadi lebih cepat,
dengan urutan : AKBK > AKP > AKG > AKCF > AKGE > ATH. Kelembaban
sangat berpengaruh terhadap kestabilan potensi campuran, dan hasil degradasi KK
diindikasi menjadi katalis kerusakan ATH.
Uji farmakokinetika terhadap kelinci menggunakan metode bioassay
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pengaruh interaksi ATH – KK
terhadap parameter ketersediaan hayati amoksisilina. Hasil uji menunjukkan
bahwa AKCF memiliki tmaks (jam) yang lebih tinggi, Cmaks (?g/mL) yang lebih
rendah, dan AUC0-?(µg.jam/mL) yang tidak berbeda secara bermakna
dibandingkan ATH; AKGE memiliki tmaks yang tidak berbeda secara bermakna
dibandingkan AGE, namun memiliki Cmaks dan AUC0-?yang lebih tinggi secara
bermakna; sementara nilai parameter ABK tidak berbeda secara bermakna
dibandingkan AKBK disebabkan keduanya sama-sama memiliki kelarutan yang
tinggi. Dengan demikian hanya campuran AKGE menunjukkan peningkatan
ketersediaan hayati lebih tinggi dibandingkan sistem tunggalnya (AGE).
Dibandingkan dengan AKCF, AKBK dan AKGE memiliki tmaks yang lebih
pendek, yaitu 0,29 ± 0,11 dan 0,56 ± 0,12 versus 0,99 ± 0,16, Cmaks yang lebih
tinggi (20,95 ± 2,32 dan 17,55 ± 4,7 versus 12,4 ± 2,80), serta AUC0-?yang lebih
tinggi (67,70 ± 8,3 dan 57,8 ± 6,0 versus 41,6 ± 6,42). Peningkatan ketersediaan
hayati AKGE diduga disebabkan oleh peningkatan kelarutan dan kecepatan
pelarutan akibat amorfisasi dan interaksi ATH-KK yang lebih intensif
dibandingkan AKCF; sedangkan peningkatan ketersediaan hayati AKBK lebih
disebabkan oleh meningkatnya kelarutan akibat pembentukan garam anhidrat,
amorfisasi, serta peningkatan porositas dan higroskopisitas setelah perlakuan beku
kering. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan perlakuan terhadap
campuran ATH - KK akan berpengaruh terhadap ketersediaan hayati ATH,
dengan urutan : AKBK > AKGE > AKCF.