digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Interaksi fisika dan kimia antar bahan aktif dan bahan aktif dengan bahan pembantu dapat terjadi selama proses produksi dan penyimpanan sediaan obat padat. Hal ini disebabkan adanya keterlibatan energi termik dan mekanik selama proses produksi dan perubahan kondisi selama penyimpanan. Interaksi tersebut dapat mengakibatkan perubahan karakter fisikokimia dan stabilitas obat di dalam sediaan. Oleh karena itu, penelitian tentang interaksi penting dilakukan sebagai dasar untuk membangun formula yang memenuhi persyaratan. Selama ini Metode Kontak Panas (MKP) Kofler telah dikenal sebagai metode sederhana namun akurat untuk mengidentifikasi jenis interaksi fisika antara dua padatan. Keterbatasan metode tersebut adalah tidak dapat digunakan untuk mendeteksi interaksi bahan termolabil. Pada tahap pertama penelitian ini, dicoba dikembangkan Metode Kontak Dingin (MKD) berdasar proses rekristalisasi dari larutan jenuh untuk bahan termolabil dan termostabil. Percobaan MKD dilakukan terhadap kombinasi obat : asetaminofen – pseudoefedrin HCl (AP) menggunakan etanol; metampiron - fenilbutason (MF) menggunakan aseton; levodopa – benserazid HCl (LB) menggunakan asam format; dan amoksisilina trihidrat – kalium klavulanat (ATH – KK) menggunakan dapar fosfat pH 6,8. Konfirmasi dengan metode Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Powder X-Ray Diffractometer (PXRD), disimpulkan bahwa AP merupakan campuran eutektikumumum dengan suhu eutektikumum 113°C; MF campuran peritektikumumum dengan suhu peritektikumum 149°C; dan LB peritektikumum dengan suhu peritektikumum 163,7°C. Isolat interaksi ketiga kombinasi bahan aktif tersebut menunjukkan karakter fisika yang sesuai. Berbeda dengan yang teramati pada kombinasi bahan aktif yang lain, daerah kontak kombinasi ATH – KK tidak menunjukkan profil leburan namun mengalami pengarangan pada suhu 200-205ºC. Termogram campuran fisikanya tidak menunjukkan kurva leburan dengan kurva eksotermik ATH – KK yang bersatu pada fraksi molar 0,5 : 0,5. Data MKD dan DSC tidak menggambarkan suatu jenis interaksi fisika, namun lebih mengindikasikan bahwa hidrolisis ATH dan KK berlangsung pada suhu yang berdekatan dan/atau terjadi interaksi kimia antara hasil degradasi keduanya pada suhu tinggi. Sebagai lanjutan MKD dilakukan isolasi interaksi ATH – KK dengan metode beku kering, menggunakan pelarut dapar fosfat pH 6,8. Karakterisasi dengan DSC menunjukkan bahwa isolat campuran beku kering (AKBK) pada seluruh perbandingan menunjukkan suhu lebur yang sama, berkisar antara 194-201,8°C; memperkuat dugaan terbentuknya interaksi kimia antara ATH – KK. Analisis struktur dengan metode Fourier Transform Infra Red (FTIR) menunjukkan pengurangan spektra beta laktam pada bilangan gelombang 1764 cm -1 , amina pada 1580 cm -1 , dan menajamnya serapan amida pada bilangan gelombang 1650-1700 cm -1 (serapan amida). Analisis dengan Neutron Magnetic Resonance (NMR) 500 MHz menunjukkan munculnya spektra H baru pada posisi 3,74 ppm yang terikat pada C 58 ppm, memperkuat dugaan terjadinya perubahan struktur campuran setelah proses beku kering. Perubahan struktur tersebut diduga terjadi dengan pembukaan cincin beta laktam KK yang didorong oleh keberadaan gugus amina ATH yang dapat diikuti oleh reaksi intermolekular antara hasil degradasi KK dengan ATH. Pada tahap selanjutnya diteliti kemungkinan terjadinya interaksi ATH – KK pada keadaan padat, tanpa keterlibatan dapar. Untuk mengetahui karakter padatan masing-masing komponen, pertama-tama ditentukan struktur kristal tunggal ATH dan KK. Diperoleh data bahwa kristal ATH dan KK memiliki sistem kristal yang sama yaitu ortorombik P212121, dengan 4 molekul pada setiap kisi dan volume kisi masing-masing 1950 ? 3 dan 930 ? 3 . ATH merupakan suatu channel hydrate (hidrat kanal), jenis hidrat yang mudah melepas molekul air kristal dari kisinya. Sementara KK memiliki empat atom K pada setiap sel yang menyebabkannya bersifat sangat polar dan higroskopis. Dengan polaritas dan bentuk kristal planar KK akan mudah berinteraksi dengan molekul air ATH. Struktur tiga dimensi kedua senyawa tersebut menunjukkan bahwa gugus laktam membentuk geometrik siku terhadap gugus pentasiklik yang menyebabkan elektron sunyi gugus laktam tidak dapat beresonansi sehingga mudah mengalami hidrolisis. Data DSC-PXRD simultan menunjukkan bahwa ATH mengalami anhidratasi pada suhu 100°C dan terurai pada suhu 160ºC. Sementara itu termogram KK menunjukkan transisi eksotermik pada suhu 180°C. Campuran ATH – KK fraksi molar ATH 0,5 menunjukkan kurva eksotermik baru pada suhu 145°C, yang diperkirakan merupakan suhu terbentuknya interaksi kimia pada suhu tinggi. Campuran tersebut kemudian terdekomposisi bersama pada suhu 180-220°C. Pada tahap berikutnya dilakukan penelitian pengaruh perlakuan terhadap campuran ATH – KK, yaitu pemanasan pada suhu 50°C/30 menit (AKP), penggerusan dengan mortar mekanik 100 putaran per menit/20 menit (AKG), dan penggerusan dengan etanol (AKGE). Termogram DSC menunjukkan bahwa penggerusan dan pemanasan meningkatkan mobilitas air kristal ATH. Penggerusan dengan etanol diduga menyebabkan integrasi etanol ke dalam kisi ATH dan KK. Difraktogram seluruh campuran hasil perlakuan menunjukkan penurunan kristalinitas campuran setelah perlakuan. Foto SEM menggambarkan bahwa struktur permukaan campuran ATH – KK menjadi tidak teratur dan lebih berpori. Hasil analisis FTIR dan NMR tidak menunjukkan terbentuknya ikatan baru pada ketiga perlakuan, hanya pelebaran spektra ikatan pada bilangan gelombang 2500-3500 cm -1 . Hal ini mengindikasikan bahwa setelah perlakuan terjadi interaksi antara ATH – KK yang melibatkan air tanpa menyebabkan perubahan struktur. Namun demikian, keterlibatan air dan perubahan struktur permukaan selanjutnya terbukti dapat menurunkan stabilita potensi ATH. Hasil uji stabilita pada suhu 26±2°C dengan kelembaban relatif 65±5% dan 84±2% menunjukkan bahwa degradasi ATH di dalam campuran terjadi lebih cepat, dengan urutan : AKBK > AKP > AKG > AKCF > AKGE > ATH. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap kestabilan potensi campuran, dan hasil degradasi KK diindikasi menjadi katalis kerusakan ATH. Uji farmakokinetika terhadap kelinci menggunakan metode bioassay dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pengaruh interaksi ATH – KK terhadap parameter ketersediaan hayati amoksisilina. Hasil uji menunjukkan bahwa AKCF memiliki tmaks (jam) yang lebih tinggi, Cmaks (?g/mL) yang lebih rendah, dan AUC0-?(µg.jam/mL) yang tidak berbeda secara bermakna dibandingkan ATH; AKGE memiliki tmaks yang tidak berbeda secara bermakna dibandingkan AGE, namun memiliki Cmaks dan AUC0-?yang lebih tinggi secara bermakna; sementara nilai parameter ABK tidak berbeda secara bermakna dibandingkan AKBK disebabkan keduanya sama-sama memiliki kelarutan yang tinggi. Dengan demikian hanya campuran AKGE menunjukkan peningkatan ketersediaan hayati lebih tinggi dibandingkan sistem tunggalnya (AGE). Dibandingkan dengan AKCF, AKBK dan AKGE memiliki tmaks yang lebih pendek, yaitu 0,29 ± 0,11 dan 0,56 ± 0,12 versus 0,99 ± 0,16, Cmaks yang lebih tinggi (20,95 ± 2,32 dan 17,55 ± 4,7 versus 12,4 ± 2,80), serta AUC0-?yang lebih tinggi (67,70 ± 8,3 dan 57,8 ± 6,0 versus 41,6 ± 6,42). Peningkatan ketersediaan hayati AKGE diduga disebabkan oleh peningkatan kelarutan dan kecepatan pelarutan akibat amorfisasi dan interaksi ATH-KK yang lebih intensif dibandingkan AKCF; sedangkan peningkatan ketersediaan hayati AKBK lebih disebabkan oleh meningkatnya kelarutan akibat pembentukan garam anhidrat, amorfisasi, serta peningkatan porositas dan higroskopisitas setelah perlakuan beku kering. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan perlakuan terhadap campuran ATH - KK akan berpengaruh terhadap ketersediaan hayati ATH, dengan urutan : AKBK > AKGE > AKCF.