digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Ruang terbuka publik di Kota Bandung sejauh ini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat awas terutama masyarakat difabel, khususnya penyandang low vision. Evaluasi terhadap jalur pedestrian selama ini masih menekankan penyediaan fasilitas bagi pedestrian secara umum. Aksesibilitas bagi sekelompok masyarakat berkebutuhan khusus terutama penyandang low vision masih sebatas wacana, dan implementasinya masih menjadi dilema hingga saat ini. Sementara fakta yang tak terelakkan adalah, bahwa mereka hadir dan beraktivitas seperti layaknya masyarakat awas. Penyandang low vision memiliki keterbatasan gerak dan proses perseptual, sehingga mereka memiliki cara tersendiri dalam memahami ruang dimana mereka hidup. Pertimbangan lainnya adalah bahwa sejauh ini pengetahuan dalam ranah Arsitektur dan kebenaran ilmiah masih didasarkan atas persepsi masyarakat awas. Penelitian ini membahas tentang sejauh mana latar belakang sosial psikologis seorang penyandang low vision berpengaruh terhadap perilaku meruang dan pemilihan ciri medan. Ruang dalam persepsi penyandang low vision merupakan sekumpulan informasi yang berguna untuk memposisikan diri terhadap suatu lingkungan atau arah tujuan dalam proses meruang (wayfinding). Rangkaian ciri medan bagi penyandang low vision memiliki fungsi sebagai petunjuk spasial ketika mereka menjelajah ruang publik. Pendekatan penelitian dilakukan melalui teori grounded dengan pengumpulan data empirik melalui wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi penelitian di Panti Rehabilitasi Wyata Guna, Pajajaran Bandung. Penyandang low vision yang terlibat dalam penelitian ini adalah mereka yang mengalami kebutaan awal (early blind) dan buta akhir (late blind), serta penyandang low vision yang masih mampu melihat jauh (far-sighted) dan dekat (near-sighted). Perbedaan signifikan antara penyandang early blind dan late blind adalah pemahaman konsep secara utuh tentang bentuk dan ruang. Pemilihan lokasi penelitian dimulai dari wawancara awal untuk mengetahui lokasi yang banyak dipilih oleh subjek, sebagai tempat tujuan dengan intensitas tertinggi. Konstruksi teoritis dimulai dengan memisahkan data menjadi kelompok kategori dan sub kategori berdasarkan masing-masing pengalaman meruang penyandang low vision. Tahap berikutnya adalah menghubungkan kategori dan sub kategori menjadi suatu model ii hubungan, kemudian digambarkan menjadi alur cerita, dikonseptualisasikan dan dikonstruksikan menjadi sebuah teori tentang proses meruang penyandang low vision di Kota Bandung. Karakteristik visual penyandang low vision dan keragaman latar belakang sosial psikologis menjadi faktor pembeda bagaimana proses penjelajahan dan penentuan ciri medan tersebut berlangsung. Dalam menjelajah ruang, seorang penyandang low vision menggunakan sistem penginderaan yang dapat saling terintegrasi, tersubstitusi atau melengkapi satu sama lain ketika salah satu indera tidak berfungsi, seperti mata, telinga, hidung, telinga, kulit, otot dan rangka. Pemilihan ciri medan dilakukan melalui proses preferensi dan referensi yang terbagi atas pengalaman diri sendiri dan informasi atau referensi dari orang lain . Kedua hal tersebut tersimpan dalam konsep peta kognitif mereka. Penentuan ciri medan dilakukan melalui proses kognisi secara kolektif maupun individual, tergantung pengalaman spasial subjek dalam ruang tersebut. Hasil rekonstruksi terhadap identifikasi ciri medan direpresentasikan melalui gelembung ruang yang terdiri atas elemen fisik dan nir fisik. Berdasarkan jenis intervensi, aspek yang berpengaruh terhadap perancangan ciri medan dibedakan atas aspek perancangan yang dipengaruhi perilaku spasial, dan aspek non perancangan (latar belakang sosial psikologis, peta kognitif dan perilaku non spasial). Dominasi perseptual akibat penggunaan sensori penyandang low vision menjadi bagian dalam aspek perancangan dan non perancangan dalam perancangan ciri medan inklusif. Dominasi perseptual juga termasuk dalam aspek non perancangan karena karakteristik suatu lokasi memiliki sifat khas dan berbeda dibanding lokasi lainnya. Aspek perancangan ciri medan sosial inklusif bagi penyandang low vision harus memiliki persyaratan keterlihatan, keunikan, keberbedaan dan kemudahan dalam aksesibilitas. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi ilmu arsitektur tentang bagaimana seorang penyandang low vision memahami dan "melihat" ruang, serta penggunaan istilah ciri medan dalam perancangan ruang inklusif bagi penyandang low vision.Ruang terbuka publik di Kota Bandung sejauh ini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat awas terutama masyarakat difabel, khususnya penyandang low vision. Evaluasi terhadap jalur pedestrian selama ini masih menekankan penyediaan fasilitas bagi pedestrian secara umum. Aksesibilitas bagi sekelompok masyarakat berkebutuhan khusus terutama penyandang low vision masih sebatas wacana, dan implementasinya masih menjadi dilema hingga saat ini. Sementara fakta yang tak terelakkan adalah, bahwa mereka hadir dan beraktivitas seperti layaknya masyarakat awas. Penyandang low vision memiliki keterbatasan gerak dan proses perseptual, sehingga mereka memiliki cara tersendiri dalam memahami ruang dimana mereka hidup. Pertimbangan lainnya adalah bahwa sejauh ini pengetahuan dalam ranah Arsitektur dan kebenaran ilmiah masih didasarkan atas persepsi masyarakat awas. Penelitian ini membahas tentang sejauh mana latar belakang sosial psikologis seorang penyandang low vision berpengaruh terhadap perilaku meruang dan pemilihan ciri medan. Ruang dalam persepsi penyandang low vision merupakan sekumpulan informasi yang berguna untuk memposisikan diri terhadap suatu lingkungan atau arah tujuan dalam proses meruang (wayfinding). Rangkaian ciri medan bagi penyandang low vision memiliki fungsi sebagai petunjuk spasial ketika mereka menjelajah ruang publik. Pendekatan penelitian dilakukan melalui teori grounded dengan pengumpulan data empirik melalui wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi penelitian di Panti Rehabilitasi Wyata Guna, Pajajaran Bandung. Penyandang low vision yang terlibat dalam penelitian ini adalah mereka yang mengalami kebutaan awal (early blind) dan buta akhir (late blind), serta penyandang low vision yang masih mampu melihat jauh (far-sighted) dan dekat (near-sighted). Perbedaan signifikan antara penyandang early blind dan late blind adalah pemahaman konsep secara utuh tentang bentuk dan ruang. Pemilihan lokasi penelitian dimulai dari wawancara awal untuk mengetahui lokasi yang banyak dipilih oleh subjek, sebagai tempat tujuan dengan intensitas tertinggi. Konstruksi teoritis dimulai dengan memisahkan data menjadi kelompok kategori dan sub kategori berdasarkan masing-masing pengalaman meruang penyandang low vision. Tahap berikutnya adalah menghubungkan kategori dan sub kategori menjadi suatu model ii hubungan, kemudian digambarkan menjadi alur cerita, dikonseptualisasikan dan dikonstruksikan menjadi sebuah teori tentang proses meruang penyandang low vision di Kota Bandung. Karakteristik visual penyandang low vision dan keragaman latar belakang sosial psikologis menjadi faktor pembeda bagaimana proses penjelajahan dan penentuan ciri medan tersebut berlangsung. Dalam menjelajah ruang, seorang penyandang low vision menggunakan sistem penginderaan yang dapat saling terintegrasi, tersubstitusi atau melengkapi satu sama lain ketika salah satu indera tidak berfungsi, seperti mata, telinga, hidung, telinga, kulit, otot dan rangka. Pemilihan ciri medan dilakukan melalui proses preferensi dan referensi yang terbagi atas pengalaman diri sendiri dan informasi atau referensi dari orang lain . Kedua hal tersebut tersimpan dalam konsep peta kognitif mereka. Penentuan ciri medan dilakukan melalui proses kognisi secara kolektif maupun individual, tergantung pengalaman spasial subjek dalam ruang tersebut. Hasil rekonstruksi terhadap identifikasi ciri medan direpresentasikan melalui gelembung ruang yang terdiri atas elemen fisik dan nir fisik. Berdasarkan jenis intervensi, aspek yang berpengaruh terhadap perancangan ciri medan dibedakan atas aspek perancangan yang dipengaruhi perilaku spasial, dan aspek non perancangan (latar belakang sosial psikologis, peta kognitif dan perilaku non spasial). Dominasi perseptual akibat penggunaan sensori penyandang low vision menjadi bagian dalam aspek perancangan dan non perancangan dalam perancangan ciri medan inklusif. Dominasi perseptual juga termasuk dalam aspek non perancangan karena karakteristik suatu lokasi memiliki sifat khas dan berbeda dibanding lokasi lainnya. Aspek perancangan ciri medan sosial inklusif bagi penyandang low vision harus memiliki persyaratan keterlihatan, keunikan, keberbedaan dan kemudahan dalam aksesibilitas. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi ilmu arsitektur tentang bagaimana seorang penyandang low vision memahami dan "melihat" ruang, serta penggunaan istilah ciri medan dalam perancangan ruang inklusif bagi penyandang low vision.