Ruang terbuka publik di Kota Bandung sejauh ini belum mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat awas terutama masyarakat difabel, khususnya penyandang
low vision. Evaluasi terhadap jalur pedestrian selama ini masih menekankan
penyediaan fasilitas bagi pedestrian secara umum. Aksesibilitas bagi sekelompok
masyarakat berkebutuhan khusus terutama penyandang low vision masih sebatas
wacana, dan implementasinya masih menjadi dilema hingga saat ini. Sementara
fakta yang tak terelakkan adalah, bahwa mereka hadir dan beraktivitas seperti
layaknya masyarakat awas. Penyandang low vision memiliki keterbatasan gerak
dan proses perseptual, sehingga mereka memiliki cara tersendiri dalam memahami
ruang dimana mereka hidup. Pertimbangan lainnya adalah bahwa sejauh ini
pengetahuan dalam ranah Arsitektur dan kebenaran ilmiah masih didasarkan atas
persepsi masyarakat awas. Penelitian ini membahas tentang sejauh mana latar
belakang sosial psikologis seorang penyandang low vision berpengaruh terhadap
perilaku meruang dan pemilihan ciri medan. Ruang dalam persepsi penyandang
low vision merupakan sekumpulan informasi yang berguna untuk memposisikan
diri terhadap suatu lingkungan atau arah tujuan dalam proses meruang
(wayfinding). Rangkaian ciri medan bagi penyandang low vision memiliki fungsi
sebagai petunjuk spasial ketika mereka menjelajah ruang publik.
Pendekatan penelitian dilakukan melalui teori grounded dengan pengumpulan
data empirik melalui wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi penelitian
di Panti Rehabilitasi Wyata Guna, Pajajaran Bandung. Penyandang low vision
yang terlibat dalam penelitian ini adalah mereka yang mengalami kebutaan awal
(early blind) dan buta akhir (late blind), serta penyandang low vision yang masih
mampu melihat jauh (far-sighted) dan dekat (near-sighted). Perbedaan signifikan
antara penyandang early blind dan late blind adalah pemahaman konsep secara
utuh tentang bentuk dan ruang. Pemilihan lokasi penelitian dimulai dari
wawancara awal untuk mengetahui lokasi yang banyak dipilih oleh subjek,
sebagai tempat tujuan dengan intensitas tertinggi. Konstruksi teoritis dimulai
dengan memisahkan data menjadi kelompok kategori dan sub kategori
berdasarkan masing-masing pengalaman meruang penyandang low vision. Tahap
berikutnya adalah menghubungkan kategori dan sub kategori menjadi suatu model
ii
hubungan, kemudian digambarkan menjadi alur cerita, dikonseptualisasikan dan
dikonstruksikan menjadi sebuah teori tentang proses meruang penyandang low
vision di Kota Bandung.
Karakteristik visual penyandang low vision dan keragaman latar belakang sosial
psikologis menjadi faktor pembeda bagaimana proses penjelajahan dan penentuan
ciri medan tersebut berlangsung. Dalam menjelajah ruang, seorang penyandang
low vision menggunakan sistem penginderaan yang dapat saling terintegrasi,
tersubstitusi atau melengkapi satu sama lain ketika salah satu indera tidak
berfungsi, seperti mata, telinga, hidung, telinga, kulit, otot dan rangka. Pemilihan
ciri medan dilakukan melalui proses preferensi dan referensi yang terbagi atas
pengalaman diri sendiri dan informasi atau referensi dari orang lain . Kedua hal
tersebut tersimpan dalam konsep peta kognitif mereka. Penentuan ciri medan
dilakukan melalui proses kognisi secara kolektif maupun individual, tergantung
pengalaman spasial subjek dalam ruang tersebut. Hasil rekonstruksi terhadap
identifikasi ciri medan direpresentasikan melalui gelembung ruang yang terdiri
atas elemen fisik dan nir fisik. Berdasarkan jenis intervensi, aspek yang
berpengaruh terhadap perancangan ciri medan dibedakan atas aspek perancangan
yang dipengaruhi perilaku spasial, dan aspek non perancangan (latar belakang
sosial psikologis, peta kognitif dan perilaku non spasial). Dominasi perseptual
akibat penggunaan sensori penyandang low vision menjadi bagian dalam aspek
perancangan dan non perancangan dalam perancangan ciri medan inklusif.
Dominasi perseptual juga termasuk dalam aspek non perancangan karena
karakteristik suatu lokasi memiliki sifat khas dan berbeda dibanding lokasi
lainnya. Aspek perancangan ciri medan sosial inklusif bagi penyandang low vision
harus memiliki persyaratan keterlihatan, keunikan, keberbedaan dan kemudahan
dalam aksesibilitas. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi ilmu arsitektur
tentang bagaimana seorang penyandang low vision memahami dan "melihat"
ruang, serta penggunaan istilah ciri medan dalam perancangan ruang inklusif bagi
penyandang low vision.Ruang terbuka publik di Kota Bandung sejauh ini belum mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat awas terutama masyarakat difabel, khususnya penyandang
low vision. Evaluasi terhadap jalur pedestrian selama ini masih menekankan
penyediaan fasilitas bagi pedestrian secara umum. Aksesibilitas bagi sekelompok
masyarakat berkebutuhan khusus terutama penyandang low vision masih sebatas
wacana, dan implementasinya masih menjadi dilema hingga saat ini. Sementara
fakta yang tak terelakkan adalah, bahwa mereka hadir dan beraktivitas seperti
layaknya masyarakat awas. Penyandang low vision memiliki keterbatasan gerak
dan proses perseptual, sehingga mereka memiliki cara tersendiri dalam memahami
ruang dimana mereka hidup. Pertimbangan lainnya adalah bahwa sejauh ini
pengetahuan dalam ranah Arsitektur dan kebenaran ilmiah masih didasarkan atas
persepsi masyarakat awas. Penelitian ini membahas tentang sejauh mana latar
belakang sosial psikologis seorang penyandang low vision berpengaruh terhadap
perilaku meruang dan pemilihan ciri medan. Ruang dalam persepsi penyandang
low vision merupakan sekumpulan informasi yang berguna untuk memposisikan
diri terhadap suatu lingkungan atau arah tujuan dalam proses meruang
(wayfinding). Rangkaian ciri medan bagi penyandang low vision memiliki fungsi
sebagai petunjuk spasial ketika mereka menjelajah ruang publik.
Pendekatan penelitian dilakukan melalui teori grounded dengan pengumpulan
data empirik melalui wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi penelitian
di Panti Rehabilitasi Wyata Guna, Pajajaran Bandung. Penyandang low vision
yang terlibat dalam penelitian ini adalah mereka yang mengalami kebutaan awal
(early blind) dan buta akhir (late blind), serta penyandang low vision yang masih
mampu melihat jauh (far-sighted) dan dekat (near-sighted). Perbedaan signifikan
antara penyandang early blind dan late blind adalah pemahaman konsep secara
utuh tentang bentuk dan ruang. Pemilihan lokasi penelitian dimulai dari
wawancara awal untuk mengetahui lokasi yang banyak dipilih oleh subjek,
sebagai tempat tujuan dengan intensitas tertinggi. Konstruksi teoritis dimulai
dengan memisahkan data menjadi kelompok kategori dan sub kategori
berdasarkan masing-masing pengalaman meruang penyandang low vision. Tahap
berikutnya adalah menghubungkan kategori dan sub kategori menjadi suatu model
ii
hubungan, kemudian digambarkan menjadi alur cerita, dikonseptualisasikan dan
dikonstruksikan menjadi sebuah teori tentang proses meruang penyandang low
vision di Kota Bandung.
Karakteristik visual penyandang low vision dan keragaman latar belakang sosial
psikologis menjadi faktor pembeda bagaimana proses penjelajahan dan penentuan
ciri medan tersebut berlangsung. Dalam menjelajah ruang, seorang penyandang
low vision menggunakan sistem penginderaan yang dapat saling terintegrasi,
tersubstitusi atau melengkapi satu sama lain ketika salah satu indera tidak
berfungsi, seperti mata, telinga, hidung, telinga, kulit, otot dan rangka. Pemilihan
ciri medan dilakukan melalui proses preferensi dan referensi yang terbagi atas
pengalaman diri sendiri dan informasi atau referensi dari orang lain . Kedua hal
tersebut tersimpan dalam konsep peta kognitif mereka. Penentuan ciri medan
dilakukan melalui proses kognisi secara kolektif maupun individual, tergantung
pengalaman spasial subjek dalam ruang tersebut. Hasil rekonstruksi terhadap
identifikasi ciri medan direpresentasikan melalui gelembung ruang yang terdiri
atas elemen fisik dan nir fisik. Berdasarkan jenis intervensi, aspek yang
berpengaruh terhadap perancangan ciri medan dibedakan atas aspek perancangan
yang dipengaruhi perilaku spasial, dan aspek non perancangan (latar belakang
sosial psikologis, peta kognitif dan perilaku non spasial). Dominasi perseptual
akibat penggunaan sensori penyandang low vision menjadi bagian dalam aspek
perancangan dan non perancangan dalam perancangan ciri medan inklusif.
Dominasi perseptual juga termasuk dalam aspek non perancangan karena
karakteristik suatu lokasi memiliki sifat khas dan berbeda dibanding lokasi
lainnya. Aspek perancangan ciri medan sosial inklusif bagi penyandang low vision
harus memiliki persyaratan keterlihatan, keunikan, keberbedaan dan kemudahan
dalam aksesibilitas. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi ilmu arsitektur
tentang bagaimana seorang penyandang low vision memahami dan "melihat"
ruang, serta penggunaan istilah ciri medan dalam perancangan ruang inklusif bagi
penyandang low vision.