Suatu benda atau material memiliki bentuk istirahat yang dapat mengalami perubahan, baik bentuk atau ukuran, akibat pembebanan oleh gaya eksternal atau perubahan suhu. Perubahan bentuk atau ukuran tersebut dikenal dengan istilah deformasi. Pada dasarnya, ketika deformasi terjadi, gaya antar molekul internal dalam material muncul untuk melawan beban yang diterima. Jika beban yang diterapkan tidak terlalu besar, gaya tersebut mampu untuk sepenuhnya melawan beban yang diterapkan dan memungkinkan material untuk mencapai keadaan kesetimbangan baru serta kembali ke bentuk istirahatnya ketika beban dihilangkan, yang dikenal sebagai deformasi elastis. Beban yang lebih besar mungkin dapat menyebabkan deformasi permanen terhadap material, yang dikenal sebagai deformasi plastis, atau bahkan kegagalan struktur. Elastisitas sebagai kemampuan material untuk mencapai kesetimbangan baru dan kembali ke kondisi semula ketika pembebanan dihentikan sangat penting untuk dipahami. Hal ini terkait dengan pentingnya tahapan desain untuk menghindari kegagalan, misalnya dalam teknik sipil, mesin, dirgantara, dan material, serta berbagai aplikasi lain yang berkaitan dengan perilaku mekanika material. Material yang berbeda dapat menunjukkan perilaku elastis yang juga berbeda dan hampir semua perencanaan rekayasa memerlukan pengetahuan mengenai elastisitas material
Ketahanan material terhadap deformasi elastis digambarkan oleh nilai modulus elastisitas. Semakin kecil deformasi akibat beban, material semakin kaku, semakin besar modulus elastisitasnya. Seiring perkembangan teknologi, telah ada berbagai metode yang digunakan untuk menentukan modulus elastisitas, seperti uji tarik, uji kompresi, mikro/nanoindentasi, ultrasonik, resonansi, dan sebagainya. Namun, setiap metode memiliki keterbatasan tersendiri, di antaranya adalah pengujian yang harus menyentuh secara langsung bahkan merusak sampel, sampel yang harus memiliki ukuran dan bentuk tertentu, diperlukannya peralatan canggih, dan ketelitian yang umumnya masih kurang. Oleh karena itu, hingga saat ini metode alternatif untuk menentukan modulus elastisitas terus dikembangkan.
Hubungan kesetimbangan teori balok, untuk material dengan struktur kantilever, menjelaskan bahwa perubahan kelengkungan balok bergantung pada dimensi dan elastisitasnya. Kantilever sendiri merupakan struktur dengan salah satu posisi ujungnya tetap dan ujung lainnya bebas. Nilai modulus elastisitas dapat diperoleh dari hubungan tersebut. Untuk balok yang tipis, fleksibilitasnya beberapa orde lebih besar daripada ekstensibilitasnya, sehingga peregangan aksial dapat diabaikan. Selain itu, kontribusi gaya geser terhadap pembengkokan balok umumnya dua kali lebih kecil daripada kontribusi momen pembengkokan. Oleh karena itu, pengaruh gaya geser juga dapat diabaikan. Suatu metode alternatif untuk mengestimasi modulus elastisitas material secara non-destruktif dan non-kontak pada tingkat makroskopik (kontinum) melalui pemrosesan gambar material dengan struktur kantilever, yang mengalami pembengkokan akibat beratnya sendiri, menjadi salah satu bahasan dan dikembangkan dalam disertasi ini. Isu utama dalam metode pengukuran adalah akurasi. Lalu, bagaimana akurasi metode ini? Untuk memeriksa apakah metode ini mampu untuk menentukan modulus elastisitas material secara akurat, dilakukan pengujian terhadap sejumlah sampel. Hasil estimasi kemudian dibandingkan dengan nilai modulus elastisitas sampel yang diukur secara langsung menggunakan alat uji tarik dan metode ini mampu untuk mengestimasi modulus elastisitas material dengan galat terhadap hasil pengukuran langsung kurang dari 16%. Hal ini menunjukkan bahwa metode alternatif yang dikembangkan dapat mengestimasi dengan baik modulus elastisitas.
Lebih lanjut, karena bentuk pembengkokan sampel dapat dipantau secara terus menerus, modulus elastisitas untuk peningkatan suhu jangka panjang dapat ditentukan. Sampel polimer amorf menunjukkan perubahan bentuk pembengkokan secara tiba-tiba pada rentang suhu tertentu, yang kemudian diidentifikasi sebagai suhu transisi gelas. Suatu model diajukan untuk menjelaskan modulus elastisitas di sekitar suhu kritis tersebut dan suhu transisi gelas sampel polimer amorf berhasil diestimasi. Menariknya, suhu transisi gelas hasil estimasi menunjukkan kesesuaian dengan data yang diperoleh dari pengukuran langsung menggunakan alat differential thermal analysis (DTA). Nilai galat kurang dari 6,7%. Karena modulus elastisitas mengalami perubahan secara tiba-tiba di sekitar suhu transisi gelas, metode yang diajukan mungkin lebih efisien daripada pengukuran menggunakan alat DTA yang ditunjukkan oleh puncak lemah pada kurva hasil analisisnya. Metode ini adalah yang pertama untuk mengestimasi suhu transisi gelas polimer amorf berdasarkan pembengkokan struktur kantilever sekaligus yang paling sederhana dan sangat potensial untuk pengembangan alat baru untuk menentukan suhu transisi gelas material.
Kemudian, disertasi ini juga menyelidiki kasus dalam teknik sipil yang masih terkait dengan deformasi elastis, yaitu pemantulan tiang tinggi (high pile rebound, HPR) selama proses pemancangan tiang di tanah berbutir halus atau kohesif (tanah lempung). Pemukulan yang berlebih terhadap tiang untuk mengatasi HPR menghasilkan tegangan tarik dan kompresi yang tinggi yang dapat merusak tiang. Ini tentu saja dapat mengakibatkan kerugian waktu, dana, dan energi. Berdasarkan studi kasus dari sejumlah laporan ilmiah diketahui bahwa HPR adalah respons yang disebabkan oleh inkompresibilitas air pori. Sementara itu, karakteristik tanah mempengaruhi pergerakan air pori. Dalam tanah lempung, molekul air ditahan di pori-pori tanah oleh gaya fisika dan kimia/listrik karena perilaku molekul air yang menyerupai dipol. Selain itu, gaya yang berhubungan dengan permukaan berbanding terbalik dengan ukuran partikel di mana partikel kecil memiliki luas permukaan spesifik yang lebih besar daripada partikel besar. Selain mempengaruhi luas permukaan, partikel yang lebih kecil mengatur diri sehingga pori-pori tanah lebih kecil. Oleh karena itu, rekayasa permukaan tiang dengan cara melapisi tiang dengan material yang menyukai air (hidrofilik) secara hipotetis mampu menarik molekul air pori ke permukaan tiang sehingga inkompresibilitas air pori dalam tanah lempung dapat diantisipasi. Dalam disertasi ini, titanium dioksida (TiO2) sebagai material superhidrofilik digunakan untuk merekayasa sifat permukaan tiang. Uji pemancangan tiang pada skala laboratorium terhadap model tiang menunjukkan bahwa pelapisan mampu membuat tiang mencapai kedalaman yang sama dengan tiang tanpa pelapisan dengan jumlah pukulan yang lebih sedikit. Sementara
uji pemancangan tiang di tanah granular, tidak ada perbedaan antara tiang dengan pelapisan dan tiang tanpa pelapisan. Hal ini dapat dimengerti karena berdasarkan karakteristik tanah granular, air pori dapat berdifusi jauh lebih cepat daripada di tanah lempung. Hasil ini menunjukkan bahwa lapisan tiang dengan pelapisan TiO2 dapat dipertimbangkan sebagai alternatif solusi HPR dan diperlukan studi lebih lanjut. Model empiris juga diturunkan dan parameter yang membedakan sifat teknik tanah lempung dan tanah granular uji diperoleh.
Untuk struktur makroskopik, modulus elastisitas dianggap sebagai properti bawaan material yang tidak tergantung pada ukuran. Namun, pada skala nano, para peneliti telah mengamati bahwa perilaku elastis material tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep mekanika kontinum dan nilai konstan dari modulus elastisitas. Bahkan, tidak hanya berbeda dari nilai bulk-nya, tetapi juga tergantung pada ukuran dalam banyak kasus. Dua mekanisme fisik yang dominan yang menyebabkan ketergantungan perilaku elastisitas terhadap ukuran pada skala nano adalah efek energi permukaan dan interaksi non-lokal. Mekanisme kedua muncul karena struktur materi yang diskrit dan fluktuasi gaya interatomik yang pudar pada modulus elastisitas fenomenologis. Jika efek energi permukaan telah dibahas secara mendalam dalam banyak literatur, penjelasan fundamental efek non-lokalitas yang berdasarkan formalisme mekanika kuantum masih sedikit. Bahasan ketiga pada disertasi ini adalah kajian mengenai dugaan ketergantungan modulus elastisitas pada ukuran berdasarkan korelasinya dengan jarak antar atom, yang juga tergantung pada ukuran akibat fluktuasi gaya interatomik, berdasarkan formalisme mekanika kuantum. Suatu model dikembangkan untuk menjelaskan hal tersebut dan hasil perbandingannya dengan data eksperimen dari sejumlah publikasi ilmiah menunjukkan kesesuaian.