digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 1 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 2 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 3 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 4 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 4 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

BAB 5 Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

PUSTAKA Roni Ramadhan
PUBLIC Alice Diniarti

Perkembangan kota Bandung tidak lepas dari adanya kegiatan urbanisasi. Dampak urbanisasi mengakibatkan kebutuhan lahan bertambah terutama pada area permukiman. Kebutuhan lahan tersebut mengakibatkan penyerobotan lahan pada ruang terbuka. Penyerobotan lahan terjadi di ruang-ruang sempadan Sungai Cikapundung yang menjadi permukiman padat kumuh. Penyerobotan oleh kegiatan informal mengakibatkan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau perkotaan. Tidak hanya pada ruang sempadan, namun juga pada ruang publik jalan. Kebutuhan ruang hijau Kota Bandung saat ini belum mencapai ideal. Ketidak seimbangan antara ruang terbuka dan jumlah penduduk mengakibatkar lingkungan yang buruk sehingga Kota Bandung sering dilanda masalah lingkungan. Salah satu konsep penanganan dalam persoalan lingkungan seperti kurangnya ruang terbuka hijau dan banjir adalah dengan konsep jejaring hijau. Konsep jejaring hijau adalah sebuah pendekatan dalam penerapan sistem ekologis pada kota. Konsep ini menjelaskan tentang sebuah konektivitas ruang-ruang hijau dan ruang biru. Konektivitas kedua sistem tersebut saling berkaitan dan terintegrasi pada sistem perkotaan. Salah satu bentuk integrasinya adalah konsep perancangan WSUD (Water Sensitive Urban Design). Bentuk integrasi lainnya adalah bagaimana sebuah sistem jejaring hijau dapat menyatu dengan ruang-ruang publik. Hal ini dikarenakan ruang terbuka di perkotaan sangat terbatas. ii Dalam penerapan konsep jejaring hijau pada perkotaan terdapat 2 kriteria yang utama. Pertama adalah jaringan dimana didalam kriteria jaringan ini terdapat aspek sistem, multiskala, multifungsi, dan konektivitas. Jaringan ini membahas tentang bagaimana jejaring hijau itu merupakan kesatuan sistem baik dari skala makro hingga mikro yang saling terhubung dan dapat menjawab berbagai tujuan. Berikutnya kriteria kedua adalah placemaking dimana terdiri dari aspek estetika, komunitas, dan identitas. Placemaking ini menjelaskan bahwa ruang-ruang terbuka hijau dapat digunakan untuk kepentingan sosial. Desain yang menarik dan fungsi yang tepat menjadi tujuan dari perancangan jejaring hijau. Kriteria jaringan dan placemaking tersebut terintegrasi pada ruang-ruang publik. Contohnya dengan pembuatan ruang publik taman yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dan juga tempat tampungan air hujan. Pembuatan jalur sepeda dan pejalan kaki yang berdampingan dengan jejaring hijau. Selain menjadi koridor jejaring hijau yang terhubung, juga memberikan pengalaman ruang pada pesepeda dan pejalan kaki.