digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-COVER.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_1.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_2.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_3.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_4.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_5.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_6.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-BAB_7.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

2012_TA_PP_SARTIKA_ANISAH_PUTRI_1-PUSTAKA.pdf
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

Bangunan baja memiliki beberapa sistem pemikul gempa. Sistem-sistem tunggal tersebut dapat digabungkan menjadi sistem kombinasi, baik secara horizontal atau vertikal. Dalam Tugas Akhir ini dilakukan perancangan struktur baja menggunakan sistem kombinasi vertikal dari Sistem Rangka Bresing Konsentrik Khusus (SRBKK) dan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK). Desain dilakukan pada bangunan dua, lima dan sepuluh lantai. SRBKK digunakan untuk lantai bagian bawah bangunan sedangkan SRPMK digunakan untuk lantai bagian atas bangunan. Rangka pemikul gempa didesain pada perimeter bangunan saja. Konfigurasi SRBKK yang digunakan adalah inverted-V. Pada bangunan dua lantai, SRBKK digunakan pada lantai ke-1 dan SRPMK pada lantai ke-2. Pada bangunan lima lantai, SRBKK digunakan pada lantai ke-1 sampai lantai ke-4 dan SRPMK digunakan pada lantai ke-5. Pada bangunan sepuluh lantai, SRBKK digunakan pada lantai ke-1 sampai ke-7 dan SRPMK digunakan pada lantai ke-8 sampai lantai ke-10. Peraturan pembebanan gempa yang digunakan dalam perancangan bangunan ini mengacu pada SNI 1726-2012. Pembebanan gedung dilakukan sesuai dengan Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung tahun 1987. Langkah-langkah dalam mendesain baja menggunan ANSI/AISC 360-10. Peraturan khusus bagi SRBKK dan SRPMK menggunakan ANSI/AISC 341-10. Bangunan ini direncanakan di daerah kegempaan tinggi, yaitu di Kota Padang dan di atas tanah lunak. Kategori resiko bangunan yang direncanakan adalah kategori II. Dengan kategori ini, faktor keutamaan yang digunakan adalah sebesar satu dan batasan simpangan antarlantai yang diperbolehkan sebesar 2% dibagi dengan faktor redundansi. Bangunan ini memiliki dua sisi yang tidak sama panjang. Arah y bangunan didesain sebanyak lima bentang dengan total panjang 30 meter sedangkan arah x sebanyak tujuh bentang dengan total panjang 42 meter. Masing-masing bentang didesain dengan lebar yang sama, yaitu enam meter. Pada arah x, terdapat empat pasang bresing dan arah y tiga pasang bresing. Balok interior, yaitu balok induk dan balok anak didesain untuk tidak menahan gempa dengan cara memodelkan sebagai sendi pada kedua ujungnya. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah untuk mendesain dan membandingkan kinerja bangunan yang menggunakan sistem kombinasi vertikal pada bangunan dua, lima, dan sepuluh lantai. Perbandingan juga dilakukan terhadap bangunan dengan konfigurasi yang sama, tetapi dengan kategori resiko yang berbeda, yaitu untuk kategori IV dengan faktor keutamaan sebesar 1.5 dan batasan simpangan antarlantai sebesar 1% dibagi faktor redundansi. Desain bangunan ini juga akan dibandingkan dengan hasil studi yang dilakukan oleh studi lanin yang berjudul “Kajian pada Perencanaan Bangunan Baja 2, 5, dan 10 Lantai dengan Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus Berdasarkan SNI 1726-2012” yang ditulis oleh Qodrina Jamni Prapti (15009112). Langkah perancangan dimulai dengan studi literature tentang struktur baja tahan gempa, pembebanan gempa, dan teori-teori lain yang dibutuhkan. Lalu dilakukan studi kasus dan preliminary design. Preliminary design dilakukan dengan bantuan ETABS 9.7.2. Hasil yang dihasilkan adalah dimensi sekring, yaitu bresing dan balok SRBKK. setelah itu, dilakukan desain kapasitas pada elemen non-sekring berdasarkan kapasitas ekspektasi maksimum bresing. Dalam desain kapasitas, digunakan suatu faktor, yaitu Ry. Faktor Ry adalah faktor kuat lebih bahan sesuai dengan mutu baja. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan respon struktur, yaitu pemeriksaan kembali simpangan antarlantai dan efek P-delta. Selanjutnya, dilakukan evaluasi kinerja struktur dilakukan dengan menggunakan analisis beban dorong statik (analisis pushover) untuk mengetahui parameter-parameter kinerja yang dihasilkan serta mekanisme keruntuhan yang akan terjadi. Parameter pushover yang didapat adalah faktor kuat lebih struktur (?0) dan faktor reduksi gempa (R). Parameter yang dihasilkan ini diharapkan dapat mendekati teori. Mekanisme keruntuhan bangunan yang diharapkan adalah kelelehan pada seluruh sekring, baru kelelehan pada elemen non-sekring. Kelelehan pada sekring diharapkan dapat menyerap energi gempa secara stabil. Dari studi yang dilakukan didapatkan hasil nilai R yang lebih kecil dari nilai R teori. Selain itu, nilai ?0 yang didapat lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini menunjukkan bahwa perancangan bangunan ini masih boros. Namun, hal ini dilakukan agar bangunan dapat memenuhi persyaratan simpangan antarlantai yang sulit dicapai pada lantai-lantai yang menggunakan SRPMK. Akibat persyaratan ini, dimensi elemen yang diperlukan untuk SRPMK sangat besar sehingga gaya gempa yang terjadi juga semakin besar. Berdasarkan mekanisme keruntuhan yang terjadi, elemen sekring, yaitu bresing SRBKK dan balok SRPMK mengalami kelelehan terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh kelelehan pada elemen nonsekring seperti balok SRBKK dan kolom. Hal ini menunjukkan bahwa desain kapasitas yang dilakukan sudah benar. Dari segi berat struktur, bangunan dengan sistem kombinasi vertikal lebih efisien pada bangunan lima dan sepuluh lantai dibandingkan dengan sistem SRPMK. Namun, pada bangunan dua lantai, berat struktur sistem kombinasi vertikal lebih berat dibandingkan dengan SRPMK. Hal ini menunjukkan bahwa pada bangunan dua lantai, penggunaan SRPMK saja sudah cukup sehingga adanya bresing justru menjadikan struktur lebih boros. Hal ini tidak terjadi pada bangunan berlantai lima dan sepuluh. Pada bangunan ini, sistem kombinasi lebih baik karena penggunaan bresing membuat struktur ini lebih mudah dalam memenuhi persyaratan simpangan antarlantai dibandingkan dengan SRPMK saja. Penggunaan konfigurasi inverted-V pada SRBKK menjadikan ukuran balok yang dibutuhkan sangat besar akibat adanya gaya inelastik pada bresing. Setelah dilakukan pushover, kurva gaya-perpindahan menunjukkan kekakuan yang sama. Ini diakibatkan oleh penggunaan sistem dan material baja yang sama. Namun, kurva pushover cenderung lebih landai pada bangunan dua lantai. Hal ini dikarenakan rasio penggunaan SRBKK dan SRPMK sama sehingga bangunan dua lantai ini tidak sekaku bangunan lima dan sepuluh lantai. Jika dibandingkan dengan struktur SRPMK, kurva pushover pada bangunan dua dan lima lantai bangunan dengan kombinasi vertikal berada di atas kurva pushover SRPMK. Namun, pada bangunan sepuluh lantai, kurva struktur kombinasi vertikal berada di bawah kurva pushover SRPMK. Hal ini menunjukkan bahwa pada bangunan sepuluh lantai, struktur kombinasi vertikal lebih efektif. Ini terlihat dari kapasitas bangunan SRPMK yang sangat berlebih akibat pemenuhan syarat simpangan antarlantai. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa sistem struktur kombinasi vertikal dapat digunakan pada bangunan lima dan sepuluh lantai. Namun, tidak efektif jika digunakan pada bangunan dua lantai. Konfigurasi inverted-V yang digunakan membuat ukuran balok yang diperlukan menjadi sangat besar.