2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-COVER.pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-BAB_11.pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-BAB_2.pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-BAB_3_(2).pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-BAB_4.pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-BAB_5.pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
2016_TA_PP_GIAN_NANDA_PRATAMA_1-PUSTAKA.pdf
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Terbatas Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan
Bandung Selatan menempati peringkat keempat kabupaten rawan bencana longsor di
Indonesia. Longsor yang terjadi tidak hanya oleh karakter geografis, tetapi juga oleh
faktor intensitas hujan dan durasi. Dengan demikian, informasi dari ambang curah
hujan pemicu longsor penting untuk diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan ambang curah hujan pemicu longsor di Bandung Selatan menggunakan
data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM dan satelit GPM. Data TRMM dan
GPM diverifikasi dengan data pengamatan observasi AWS di tiga lokasi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode empiris dengan melakukan hubungan
antara intensitas curah hujan dan durasi untuk kejadian longsor dan kurva ambang batas
diperoleh dengan menurunkan garis regresi intensitas-durasi (ID) curah hujan titik
terendah dalam menyebabkan tanah longsor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data
GPM lebih baik dari data TRMM dan analisis data GPM menunjukkan pola yang sesuai
dengan nilai – nilai pengamatan observasi. Hubungan antara ambang batas dan
kemiringan lereng menghasilkan bahwa lereng yang curam memerlukan intensitas yang
lebih tinggi dan durasi yang lama dibanding dengan lereng landai. Hal tersebut
kemungkinan dikarenakan hujan lebih efektif menjadi limpasan (run – off)
dibandingkan dengan infiltrasi dilihat dari sifat infiltrasi dan kejenuhan yang
berbanding terbalik dengan kemiringan lereng.