digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kesulitan memahami berbagai mata pelajaran membuat anak disleksia memiliki prestasi belajar rendah dan memunculkan perspektif negatif. Anak disleksia mengalami berbagai kesulitan belajar namun apabila mereka mempunyai kelebihan di suatu bidang tertentu seperti seni rupa, musik, atau hal menarik lainnya, mereka dapat mencapai kemampuan secara lebih optimal. Penelitian merumuskan bagaimana kegiatan seni terapeutik dapat mengekspresikan emosi-emosi negatif yang sulit diungkapkan anak disleksia, visualisasi dan pengaruhnya pada perkembangan mental anak. Intervensi dengan kegiatan seni terapeutik diadaptasi dari teori terapi seni untuk menumbuhkan pandangan positif mengenai dirinya sehingga anak disleksia menjadi percaya diri. Penelitian menggunakan metode eksperimen yang ditulis secara deskriptif. Dua sampel diambil dari Semata Gallery dan 3 anak dari komunitas Dyslexia Parent Support Group Indonesia. Penelitian dilaksanakan 8 minggu di Semata Gallery dengan rincian 4 minggu dengan anak Semata Gallery dan 4 minggu kemudian dengan anak dari komunitas Dyslexia Parent Support Group Indonesia. Delapan kegiatan dirancang terlebih dahulu, 1 kegiatan kelompok dan 5 kegiatan individu menjadi fokus kegiatan. Karya visual dianalisis menggunakan kritik seni seputar ekspresi emosi, visualisasi, dan pengaruh positifnya kegiatan seni terapeutik. Berdasarkan kegiatan seni terapeutik, anak disleksia memperlihatkan emosi berupa kesedihan, ketakutan dan agresifitas. Emosi ini terepresentasi dari visualisasi karya anak berupa ekspresi wajah pada objek gambarnya. Kecenderungan menggunakan warna tonal dramatis dan gelap yaitu merah, orange dan hitam membuat kesan seram, takut, sedih dan bersemangat. Agresifitas anak nampak pada goresan yang cenderung acak-acakan dan gaya menggambar yang cenderung abstrak. Perkembangan mental yang terlihat setelah mengikuti kegiatan seni terapeutik adalah terbentuknya keberanian, lebih fokus dan percaya diri dalam menceritakan karyanya di depan umum.