Kesulitan memahami berbagai mata pelajaran membuat anak disleksia memiliki
prestasi belajar rendah dan memunculkan perspektif negatif. Anak disleksia
mengalami berbagai kesulitan belajar namun apabila mereka mempunyai kelebihan di
suatu bidang tertentu seperti seni rupa, musik, atau hal menarik lainnya, mereka dapat
mencapai kemampuan secara lebih optimal. Penelitian merumuskan bagaimana
kegiatan seni terapeutik dapat mengekspresikan emosi-emosi negatif yang sulit
diungkapkan anak disleksia, visualisasi dan pengaruhnya pada perkembangan mental
anak.
Intervensi dengan kegiatan seni terapeutik diadaptasi dari teori terapi seni untuk
menumbuhkan pandangan positif mengenai dirinya sehingga anak disleksia menjadi
percaya diri. Penelitian menggunakan metode eksperimen yang ditulis secara
deskriptif. Dua sampel diambil dari Semata Gallery dan 3 anak dari komunitas
Dyslexia Parent Support Group Indonesia. Penelitian dilaksanakan 8 minggu di
Semata Gallery dengan rincian 4 minggu dengan anak Semata Gallery dan 4 minggu
kemudian dengan anak dari komunitas Dyslexia Parent Support Group Indonesia.
Delapan kegiatan dirancang terlebih dahulu, 1 kegiatan kelompok dan 5 kegiatan
individu menjadi fokus kegiatan. Karya visual dianalisis menggunakan kritik seni
seputar ekspresi emosi, visualisasi, dan pengaruh positifnya kegiatan seni terapeutik.
Berdasarkan kegiatan seni terapeutik, anak disleksia memperlihatkan emosi berupa
kesedihan, ketakutan dan agresifitas. Emosi ini terepresentasi dari visualisasi karya
anak berupa ekspresi wajah pada objek gambarnya. Kecenderungan menggunakan
warna tonal dramatis dan gelap yaitu merah, orange dan hitam membuat kesan seram,
takut, sedih dan bersemangat. Agresifitas anak nampak pada goresan yang cenderung
acak-acakan dan gaya menggambar yang cenderung abstrak. Perkembangan mental
yang terlihat setelah mengikuti kegiatan seni terapeutik adalah terbentuknya
keberanian, lebih fokus dan percaya diri dalam menceritakan karyanya di depan
umum.