digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pada logistik perdagangan ekspor terdapat 2 (dua) aktivitas utama, yaitu pada sisi pelabuhan (sea-side) dan sisi hinterland-nya (land-side). Aktivitas hinterland ini dimulai dari kontrak ekspor antara pengirim barang (shipper/eksportir) dan pembeli barang di luar negeri (consignee), hingga kontainer tersebut tiba di lapangan penumpukan kontainer pelabuhan laut pada due-date yang sudah ditentukan. Namun demikian, eksportir mengalami kesulitan dalam pemenuhan kontrak ekspor dan due-date closing time dikarenakan kemacetan pada aliran fisik barang dan prosedur pengurusan dokumen ekspor pada aliran informasi mengiringi aliran fisik. Pada aliran fisik barang, kemacetan (kongesti) terjadi baik di dalam dan luar pelabuhan, di mana terdapat dominasi pemakaian moda transportasi jalan (truk). Dalam upaya menyokong pergerakan barang dari dan ke pelabuhan hub internasional dari sisi hinterland ini maka dibutuhkan adanya spoke yang berfungsi sebagai “perpanjangan gerbang” pelabuhan utama (hub). Spoke juga merupakan tempat konsolidasi dan distribusi barang serta merupakan sambungan intermodal dari pelabuhan hub dan terintegrasi langsung dengan pelabuhan hub. Dengan demikian, pengiriman barang ekspor datang dari beberapa titik asal gudang/pabrikan dan dikonsolidasikan di spoke yang kemudian dialirkan ke hub (konsep hub-dan-spoke). Pada aliran informasi/dokumen, terjadi pertukaran dokumen/informasi yang melibatkan beberapa entitas bisnis dan agen pemerintah di mana terdapat interdependensi aktivitas antar satu sama lain. Jika koordinasi antar-aktor tidak berjalan dengan baik, maka hal ini dapat mempengaruhi kelancaran ekspor barang. Berdasarkan survey perdagangan lintas negara yang dilakukan oleh World Bank (2013), rata-rata waktu ekspor di Indonesia adalah 17 hari, di mana waktu proses penyiapan dokumen ekspor sebesar 64,7% dari total waktu ekspor. Banyaknya waktu idle kontainer untuk diproses lebih lanjut menunjukkan koordinasi yang rendah di antara aktor yang terlibat dalam perencanaan dan penjadwalan operasi, mulai dari operasi drayage hingga lintasan-panjang. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan koordinasi pada ekspor barang. Permasalahan koordinasi pada logistik perdagangan ekspor antara lain: ketidaksesuaian jadwal antara kesiapan fisik barang dan kesiapan dokumen ekspornya, lamanya pembuatan dokumen ekspor (PEB, SKA, Sertifikat Phytosanitary/Veterinary, dan lainnya), kurangnya kesesuaian jadwal kedatangan kontainer kosong dan siapnya barang di pabrikan untuk diangkut, dan kurangnya kesesuaian jadwal kedatangan kontainer di Inland Container Terminal (ICT) dan keberangkatan kereta api menuju pelabuhan-laut. Kelemahan pola koordinasi eksisting pada koordinasi kesesuaian jadwal yaitu: aliran barang informasi/dokumen masih bersifat parsial atau jenis interdependensi yang terbangun bersifat kendala prasyarat dan searah, pengambilan keputusan bersifat manual, mediator hanya berfungsi sebagai penerus informasi jadwal, dan pada kelemahan pola koordinasi pembuatan dokumen ekspor yaitu forwarder sebagai koordinator tidak memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pengaturan. Penelitian terkait koordinasi pada rantai hinterland hub-dan-spoke sudah banyak dilakukan, di mana penelitian-penelitian ini mengasumsikan bahwa dokumen barang sudah lengkap. Kenyataannya, kongesti terjadi pada penyiapan dokumen ekspor. Dalam hal koordinasi, kebanyakan masih bersifat masih sekuensial dan parsial, hanya mempertimbangkan aliran fisik barang saja (belum mencakup aliran informasi), serta belum mempertimbangkan sharing informasi dan interaksi antar-aktor yang terlibat. Dengan demikian, untuk menurunkan waktu ekspor barang, pertanyaan penelitian ini adalah “bagaimana koordinasi antar aktor dalam penanganan aliran fisik barang dan aliran informasi (dokumen) untuk mengatur aliran ekspor barang sehingga dapat memenuhi tenggat waktu yang ditentukan”. Pendekatan model koordinasi yang bersifat holistik dikembangkan dengan tahapan sebagai berikut: Model-1, yaitu model konseptual koordinasi antar-aktor pada jaringan hub-dan-spoke, yang menghasilkan 4 (empat) alternatif model konseptual koordinasi. Keluaran Model-1 ini kemudian dievaluasi pada Model-2 oleh ahli kepelabuhanan dengan mempertimbangkan dimensi keluaran (outcome), dampak (impact) dan implementasi. Hasil dari Model-2 berupa model konseptual yang cocok diterapkan di Indonesia. Model-3 mengembangkan model simulasi terhadap model terpilih untuk dilakukan validasi terhadap model usulan terpilih, dengan simulasi berbasis agen dan pendekatan kejadian-diskrit. Kontribusi teoritis model usulan pada penelitian ini yaitu berupa model koordinasi inter-organizational system (IOS) dengan penggabungan antara interdependensi terpusat dan sekuensial pada tipologi hub-dan-spoke yang mempertimbangkan aliran fisik barang dan aliran informasi/dokumen yang melibatkan agen pemerintahan dan agen bisnis pada proses ekspor barang. Hasil validasi model koordinasi ekspor barang melalui hub-dan-spoke ini yaitu performansi waktu ekspor 4,8 hari dengan standar deviasi 0,5 hari (tingkat kepercayaan 95%), di mana terjadi penurunan waktu ekspor sebesar 24,6% dari model eksisting. Sementara itu, jumlah keterlambatan sebanyak 0,08% dengan rata-rata waktu keterlambatan 4 jam. Kelemahan dari penelitian ini yaitu belum mempertimbangkan perilaku tiap aktor jika terjadi integrasi vertikal dan belum mempertimbangkan resolusi konflik, penjadwalan yang bersifat resiprokal dan analisis risiko. Kelemahan pada penelitian ini dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.