Kandungan panas bumi di Indonesia diperkirakan dapat menghasilkan sumber daya terbarukan sebesar 29 GW, dan baru termanfaatkan sekitar 5% atau sekitar 1643 MW hingga 2016, dari jumlah tersebut sekitar 227 MW diproduksi dari pembangkit listrik Wayang Windu. Masukan berupa bahan baku, energi dan air akan menghasilkan keluaran berupa produk, co-product, emisi, limbah padat dan limbah cair dalam proses operasionalnya. Seluruh proses operasional industri harus dapat memenuhi standar lingkungan, dan bahkan lebih dari memenuhi standar serta melakukan perbaikan berkelanjutan. Metoda yang dipilih untuk perbaikan ini adalah Life Cycle Assessment (Penilaian Daur Hidup) berdasarkan ISO 14040. Penelitian ini menggunakan metoda cradle to gate dengan unit fungsional MegaWatt Hours. Analisis inventarisasi menunjukkan secara detail seluruh input dan output pada setiap unit proses dan menunjukkan bahwa subsistem penghasil gas-gas yang tidak terkondensasi dan kondensat memiliki dampak lingkungan terbesar. Setiap MWh produksi Listrik yang dihasilkan membutuhkan 6,87 ton uap kering atau 8,16 ton cairan panas bumi. Kategori dampak yang dilakukan pada penilaian potensi dampak adalah potensi pemanasan global (Global Warming Potential), Potensi Asidifikasi (Acidification Potential), dan potensi Eutrofikasi (Eeutrophication Potential) untuk tingkatan midpoint dan penggunaan lahan untuk tingkatan endpoint. Nilai GWP adalah 0,155 Ton CO2eq./MWh, AP 1,69 kg SO2eq./MWh, EP 0,0013 gPO4 eq./MWh dan penggunaan lahan 0,0000251 PDF/m2. Hasil normalisasi menunjukkan bahwa potensi asidifikasi memiliki potensi dampak terbesar yakni 78% dari seluruh dampak dan 98% diantaranya berasal dari H2S gas-gas yang tidak terkondensasi. Pada perbandingan nilai GWP dan AP beberapa PLTP dry steam lain, nilai potensi dampak berada pada posisi yang baik. Analisis biaya manfaat menunjukkan industri ini masih layak.