digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Perubahan konteks sosio-kultural selalu mewarnai perkembangan seni, sebagaimana seni merupakan manifestasi dari gagasan kolektif mengenai hal tersebut. Sedangkan seni rupa kontemporer pada perkembangannya merupakan titik kulminasi dari praktik seni dengan seluruh perubahan paradigma yang menyertainya. Sebagai akibatnya proses kreasi pada konteks seni rupa kontemporer sudah tidak bisa lagi diidentikan dengan satu kecenderungan metode yang tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola tahapan proses kreasi perupa muda di Bandung. Perupa muda dalam hal ini ialah generasi yang secara langsung mengalami perubahan sosio-kuktural dan momen penting dalam sejarah seni rupa di Indonesia, yaitu boom seni rupa ketiga yang memuncak pada tahun 2008. Sehingga dipilih tiga orang perupa yang mewakili yaitu, Radi Arwinda, J.A. Pramuhendra dan Wiyoga Muhardanto. Penelitian ini merupakan tipe penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan interdisiplin. Teori proses kreasi didekati dengan tinjauan kebudayaan, serta relasi sosial perupa di medan seni rupa kontemporer. Perubahan kebudayaan berhubungan dengan konteks kebangkitan era informasi yang menggeser cara dan metode proses kreasi. Penelitian ini menemukan satu pendekatan metode baru, yaitu tahapan proses kreasi kontekstual yang berasal dari penggabungan analisis teori proses berpikir Graham Wallas yang hingga saat ini masih dipergunakan untuk menjelaskan tahapan proses kreasi, dan pendekatan metode artistik dari Robert Nelson. Tahapan proses kreasi kontekstual terdiri atas, tahapan pertama yaitu konteks umum berupa perubahan kebudayaan dan konteks khusus yang berkaitan dengan persoalan dan pandangan personal. Pada tahapan proses kreasi Radi Arwinda, respon personal akan persinggungan kebudayaan terutama yang berasal dari pengaruh keluarga dan hubungan sosial yang muncul secara signifikan berupa penggabungan idiom-idiom tradisi Cirebon dengan budaya populer. Pada J.A. Pramuhendra gagasan utama muncul dari reaksi dan kritiknya terhadap reliji dan kepercayaan. Idiom simbolik relijius muncul bersama potret diri dan keluarga sebagai perwakilan akan trauma dan memorinya. Sedangkan Wiyoga Muhardanto secara signifikan justru mengolah konteks yang lebih luas pada komunitas masyarakat urban yang termanifestasikan menjadi objek-objek penanda kelas menengah. Tahapan kedua analisis ialah fase presipitasi, atau pengendapan ide dan gagasan pada titik endap yang berhubungan dengan relasi sosial kekolegaan, relasi keluarga dan hobby. Pada tahapan ini perupa dipaksa untuk mengalihkan fokus kesadarannya pada hal lain yang masih berkorelasi. Pada Arwinda titik ini adalah rumah dan keluarga, Pramuhendra musik dan ruang kerja, sedangkan Wiyoga memanfaatkan secara signifikan ruang gagas Platform3 sebagai tempat ia beraktivitas di luar kegiatan artistik pribadinya. Tahapan ketiga ialah dorongan artistik yang mendorong perupa untuk memanifestasikan ide dan gagasannya menjadi karya seni. Terakhir ialah tahapan strategi representasi yang berkaitan dengan pendekatan metode dan kecenderungan perupa muda untuk merancang karyanya. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh koreksi dari dalam diri perupa dan kritik dari luar diri perupa yang keduanya merupakan respon terhadap medan seni. Metode visual biografi nampak pada strategi Arwinda, yang berkaitan dengan penggunaan potret diri pada karyanya. Sedangkan pendekatan metode ikonografi dipergunakan Pramuhendra terutama berkaitan dengan penggunaan simbol reliji pada karya. Muhardanto menggunakan pendekatan instrumental yang berkaitan dengan perkembangan alat dan teknologi pada proses kreasi. Dari hasil analisis ditemukan bahwa perubahan kebudayaan dalam konteks sosio-kultural, ideologi seni rupa kontemporer, pendekatan metode dan respon terhadap medan seni dalam hal ini mempengaruhi proses kreasi. Ketiga perupa sampel mewakili kecenderungan proses kreasi pada generasinya, yang lebih terbuka, strategis namun dengan corak khas yang berasal dari gagasan personal.