Bikers style atau yang dikenal dengan ‘motorcycle outlaw’ merupakan salah satu
sub gaya street style yang muncul pada tahun 1947-1950 di Southern California.
Gaya yang identik dengan musik rock n roll ini merupakan perpaduan dari citra
maskulin dan kebebasan. Tren ini semakin diperkuat oleh California boom yang
diikuti perang dunia II. Seiring dengan masuknya musik rock and roll, motor yang
juga dijuluki dengan istilah steel horse inI bersamaan dengan keluarnya gitar
listrik, papan skate, papan salju sebagai alat yang melambangkan budaya pemuda
pada abad 20. Jenis busana dari gaya ini terdiri dari captain hat, motorcycle
jacket, kaos putih (diadopsi dari angkatan laut AS 1913), sarung tangan/gloves
(kulit hitam), sabuk kulit coklat dengan buckles standar, celana jeans bermerek,
dan sepatu jenis engineer boots. Seiring berkembangnya zaman dan derasnya arus
globalisasi membawa bikers style pada waktu, budaya, dan tempatnya di
Bandung-Indonesia ini menjadikan karakter negara asalnya (Barat) bergeser
mengikuti arus perkembangan trend yang ada khususnya di kalangan anak muda
Bandung. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses
adopsi visual karakter fesyen bikers style Barat dengan budaya yang ada di
Indonesia?, 2. Bagaimana visualisasi pergeseran bikers style yang terjadi di
Bandung-Indonesia?, 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi selera kalangan anak
muda Bandung terhadap gaya berbusana bikers?. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif/studi deskriptif analitik, dengan kajian media meliputi
analisis obyek berdasarkan landasan teori fesyen style from head to toe dari
Takamura. Temuan pada penelitian ini adalah adanya pergeseran cara pakai/padu
padan pada bikers style yang berkembang di Bandung dikarenakan faktor budaya,
ekonomi, serta kejenuhan kalangan anak muda Bandung terhadap distro/clothing
yang memiliki konssep yang sama/terkesan flat & mainstream. Tanpa
menghilangkan unsur dan citra bikers style yang diterapkan, proses imitasi gaya
tersebut termasuk ke dalam semiotika konotatif (metafora, simile: mimesis &
stilasi), secara garis besar yaitu proses peniruan desain yang ditampilkan memiliki
visual yang akan sangat rendah, karena kemiripan yang dicapai cenderung
menjadi kegiatan yang seolah-olah ‘murah’. Di sisi lain, ada pula proses peniruan
dari satu objek dengan cara melebih-lebihkan satu bagian, dan mengurangi satu
bagian yang lain, dimana faktor kemiripan yang terjadi masih dapat tertangkap
3
oleh persepsi, akan tetapi kualitas visual yang tinggi masih dapat dimungkinkan
dicapai, sebab kompromisitas masih sangat dimungkinkan. Hal tersebut dapat
disimpulkan dengan ‘eklektik’ yaitu adopsi dari beragam sumber gaya/referensi
tanpa mempertanggungjawabkannya.
Perpustakaan Digital ITB