digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sebagian besar pengguna angkutan umum adalah masyarakat menengah ke bawah maka untuk itu tarif angkutan umum sebaiknya memperhatikan kemampuan/kemauan membayar (Ability To Pay (ATP)/Willingness To Pay (WTP)) masyarakat pengguna tetapi juga memperhatikan kepentingan operator untuk menjaga kelangsungan pengoperasian angkutan umum tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tarif angkutan kota di Kota Bandung dari sisi masyarakat pengguna maupun operator angkutan kota. Kajian tarif dilakukan terhadap kemampuan/kemauan membayar (ATP/WTP) pengguna, Biaya Pokok Produksi (BPP), akibat kenaikan harga bahan bakar sebesar 29% pada tanggal 1 April 2005 serta akibat pemberian margin keuntungan pemilik sebesar Rp.40.000,-/hari atau sebesar 15% dari harga kendaraan setiap tahun yang ditambahkan kedalam setoran minimal. Penelitian ini dilakukan pada 3 (tiga) trayek angkutan kota berdasarkan tipe konfigurasi rute angkutan kota di Kota Bandung. Tipe I merupakan tipe radial dimana rute angkutan kota yang menghubungkan pusat kegiatan diluar pusat kota dengan pusat kota, yaitu trayek 03: Abdul Muis-Dago. Tipe II merupakan tipe grid yang melalui pusat kota, yaitu trayek 32: Cicadas-Elang. Tipe III merupakan tipe grid yang tidak melewati pusat kota, yaitu trayek 06:Cicaheum-Ledeng. Kebutuhan data primer untuk penelitian ini diperoleh dari survei wawancara pengguna angkutan kota untuk mendapatkan besar kemampuan/kemauan membayar, wawancara sopir untuk mendapatkan data operasional kendaraan serta survei on board yang dilakukan selama jam operasi untuk mendapatkan jumlah penumpang angkutan kota. Biaya Operasional Kendaraan (BOK) di analisa untuk 2 (dua) kondisi yaitu kondisi ideal dimana nilai BOK diperoleh berdasarkan jarak pengoperasian angkutan kota dengan menggunakan metoda Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT) sedangkan kondisi aktual dimana nilai BOK diperoleh berdasarkan data hasil survei wawancara sopir angkutan kota. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa BOK untuk kondisi ideal lebih besar dari kondisi aktual karena untuk kondisi aktual ada komponen kendaraan yang masih dipakai walaupun sudah tidak layak pakai, misalnya ban. Hal ini mengakibatkan nilai BPP kondisi ideal lebih besar dari kondisi aktual. Dari hasil analisa tarif hampir 90% pengguna mampu/mau membayar tarif sebesar BPP. Tarif berdasarkan BPP pada umumnya masih lebih kecil dari tarif yang berlaku di lapangan. Hal ini berarti bahwa pihak operator angkot masih memperoleh keuntungan. Akibat kenaikan bahan bakar (BBM) tanggal 1 maret 2005 sebesar 29% maka kenaikan tarif angkutan kota yang ditinjau rata-rata naik sebesar 8,8% untuk kondisi aktual dan sebesar 7,3% untuk kondisi ideal. Sedangkan besar setoran yang berlaku sekarang lebih besar dari besar setoran minimal baik untuk kondisi ideal maupun aktual. Tetapi setelah menambahkan margin keuntungan pemilik angkutan kota (angkot) sebesar Rp 40.000,-/hari atau sebesar 15% dari harga kendaraan setiap tahun ke dalam setoran minimal maka besar setoran lebih besar dari setoran yang berlaku sekarang, yang berarti setoran yang berlaku sekarang memberikan keuntungan lebih kecil dari Rp.40.000,-/hari.