Peristiwa gempa bumi dan tsunami yang melanda Pangandaran pada tanggal 17 Juli 2006 merupakan bencana gempa dan tsunami terparah di Jawa Barat setelah
kejadian yang sama lebih 100 tahun yang lalu akibat meletusnya gunung Krakatau. Sekitar 70% dari 80.000 penduduk Pangandaran menggantungkan hidupnya pada sektor wisata. Salah satu yang menjadi daya jual sektor tersebut adalah kerajinan hasil laut. Menurut Akasah, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ciamis, di Pangandaran sebanyak 202 toko dan kios
cenderamata hancur. Nilai kerugian bangunan dan modal usaha mencapai 9,8 miliar Rupiah. Kerajinan dan cinderamata di Pangandaran masih terlalu tergantung dengan pasar lokal. Himpunan Pengrajin Pangandaran (HPP) sebagai salah bentuk implementasi Program Pemberdayaan Nelayan Pangandaran (PPNP) telah dijalankan sejak tahun 2007 memberikan perhatian kepada pengembangan usaha kerajinan Pangandaran. Kelompok merupakan bentuk
perencanaan bottom-up yang memberdayakan masyarakat sehingga perencanaan dapat diarahkan sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan adanya kelompok, anggota memiliki kekuatan sebagai suatu entitas yang dapat dibawa ke
pemerintah dan berbagai pihak luar sehingga mereka akan lebih didengar daripada jika dilakukan secara perorangan. Posisi tawar pengusaha menjadi lebih kuat jika tergabung ke dalam suatu anggota. Kelompok sebenarnya memiliki fungsi yang memberikan manfaat kepada anggotanya. Fungsi yang dimaksud meliputi fungsi tanggap darurat, pengorganisasian, produksi, pembiayaan,
pemasaran dan peningkatan kapasitas. Sampai saat ini peran yang paling menonjol oleh HPP hanya terbatas pada pengorganisasian saja. Kuatnya pengorganisasian yang ada di HPP ini tidak diikuti dengan strategi pengembangan usaha dan kelompok yang baik. Oleh karena itu HPP perlu
meningkatkan daya kompetitif melalui perluasan pemasaran, pencarian alternatif pemasok bahan baku, inovasi secara kolektif, perbaikan hubungan dengan
Disperindag dan KSPI dan menjadi kekuatan pengembangan ekonomi lokal di Pangandaran.