digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen pada tahun 2010 merupakan negara dengan ekonomi terbesar Asia Tenggara, disaat yang lain mengalami pertumbuhan dibawah 2 persen bahkan minus akibat krisis global yang terjadi sejak 2008. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berdampak pada meningkatnya konsumsi BBM di Indonesia, khususnya jenis Solar, Premium dan Minyak Tanah seiring dengan pertumbuhan yang ada. Pertumbuhan konsumsi ketiga jenis BBM tersebut diproyeksikan mengalami pertumbuhan rata-rata 3,2 persen per tahun. Kebutuhan Premium, Solar dan Minyak Tanah yang pada tahun 2008 tercatat sebesar 1,214 juta barel per hari diperkirakan akan naik menjadi 1,253 juta barel per hari pada 2009 dan diperkirakan menjadi 1,293 juta barel per hari pada 2010 hingga mencapai 1,612 barel per hari pada 2017. Sementara, saat ini ada tujuh kilang minyak mentah yang beroperasi di Indonesia, semuanya dimiliki oleh PT Pertamina dengan kapasitas produksi Premium, Solar dan Minyak Tanah sebesar 831,000 barel per hari dari total kapasitas kilang 1,1 juta barel per hari. Produksi tersebut hanya dapat memenuhi 60 persen hingga 70 persen dari kebutuhan Premium, Solar dan Minyak Tanah di Indonesia. Akibat tidak seimbangnya pasokan dan permintaan maka PT Pertamina melakukan impor Premium, Solar dan Minyak Tanah sebanyak 30 persen hingga 40 persen setiap harinya dari total kebutuhan yang ada. Hal itu merupakan biaya tinggi yang harus ditanggung PT Pertamina. Selain itu, PT Pertamina juga menanggung opportunity lost dari keuntungan biaya produksi karena tidak dapat memanfaatkan potensi pasar yang ada di dalam negeri. Sebagai ilustrasi, BUMN tersebut harus menanggung biaya impor Premium sebesar $5.5 miliar, biaya impor Solar sebesar $8.7 miliar dan biaya impor Minyak Tanah sebesar $267 juta pada tahun 2009. Padahal untuk menambah kilang baru dengan kapasitas 300,000 barel per hari hanya dibutuhkan biaya sebesar $5 miliar hingga $7 miliar tergantung konfigurasinya. Tidak adanya pembangunan kilang baru di Indonesia, baik oleh PT Pertamina maupun oleh investor swasta lainnya disebabkannya sangat rendahnya tingkat pengembalian investasi (internal rate of return) yang sangat rendah dengan periode pengembalian modal yang relatif sangat lama. Tingkat pengembalian investasi untuk proyek kilang rata-rata berada dibawah 10 persen dengan periode pengembalian modal diatas 10 tahun. Dengan tingkat pengembalian modal yang rendah dan masa pengembalian modal yang lama maka proyek pembangunan kilang sama sekali tidak ekonomis dan akan sangat sulit mendapatkan investor termasuk tidak layak mendapatkan pinjaman dari perbankan untuk pembiayaan proyek. Padahal untuk mendanai pembangunan kilang baru dibutuhkan pinjaman bank dalam jumlah besar. Proyek akhir ini berdasarkan studi kasus PT Pertamina yang berupaya mencari cara agar dapat menaikkan tingkat pengembalian modal hingga batas minimal 14.7 persen dengan masa pengembalian modal tidak lebih dari 7 tahun agar proyek pembangunan kilang memenuhi keekonomiannya dan bisa mendapatkan pembiayaan dari perbankan.