digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kelongsoran lereng di Indonesia merupakan bencana yang cukup sering terjadi dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Berdasarkan pencatatan-pencatatan yang telah dilakukan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, frekuensi kelongsoran dan kerugian yang diakibatkannya meningkat dari tahun ke tahun. Secara alamiah, kecenderungan lereng untuk bergerak ditahan oleh kekuatan geser tanah pembentuk lereng. Sedangkan untuk lereng yang tidak stabil dimana kekuatan geser tanah tidak dapat menahan pergerakan lereng, telah dikembangkan berbagai metoda stabilisasi lereng. Salah satu metoda stabilisasi lereng adalah Sistem Geosintetik Diangkur (AGS) yang pertama kali diperkenalkan oleh Robert Koerner (1986). AGS dapat digunakan pada lereng alam maupun pada lereng buatan dengan cara menyelimuti lereng dengan geosintetik kemudian dilakukan pemancangan angkur sampai melewati bidang runtuh. Sebagai metoda barn untuk menstabilkan lereng, AGS perlu diteliti keefektifannya. Sehubungan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan meliputi: uji lapangan untuk mengetahui keefektifan penggunaan AGS pada lereng alam, uji model laboratorium untuk mengetahui keefektifan penggunaan AGS pada lereng buatan, dan simulasi keruntuhan menggunakan Program Plaxis untuk mendapatkan pola keruntuhan pada lereng buatan yang diperkuat dengan AGS. Pada uji lapangan, hasil pencatatan alat-alat pemantau menunjukkan bahwa penggunaan AGS pada lereng alam yang tidak stabil dapat mengurangi pergerakan lereng yang terjadi di musim hujan sebanyak 60 % dari pergerakan lereng sebelumnya. Pada uji model laboratorium, pengujian menunjukkan bahwa pola keruntuhan yang teijadi mendekati bentuk logarithmic spiral yang melalui kaki lereng. Simulasi menggunakan Program Plaxis menghasilkan pola keruntuhan berbentuk logarithmic spiral yang mendekati hasil uji model laboratorium. Perbedaan letak bidang runtuh mengakibatkan perbedaan lugs zona aktif, dimana lugs zona aktif hasil simulasi Program Plaids lebih besar antara 12% sampai dengan 22% dari luas zona aktif hasil uji model laboratorium.