digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Cekungan airtanah (CAT) Bandung – Soreang merupakan salah satu CAT yang dimanfaatkan sangat intensif terutama oleh industri. Hal ini tentu saja mengakibatkan adanya pengurangan potensi seperti ditunjukkan oleh penurunan muka airtanah (MAT) di CAT Bandung – Soreang. Beberapa penelitian terkait kondisi muka airtanah di CAT Bandung – Soreang menyimpulkan bahwa pada saat ini kondisi airtanah di CAT ini telah menunjukkan kondisi kritis dan rusak di beberapa lokasi. Kondisi kritis tersebut diindikasikan terjadi karena banyaknya industri yang memanfaatkan airtanah juga diperparah karena pengambilan airtanah tidak diimbangi oleh pemasukan air atau injeksi kedalam airtanah. Berdasarkan kondisi diatas, untuk menganalisis lebih jauh kondisi airtanah CAT Bandung – Soreang perlu dilakukan kajian mengenai potensi imbuhan yang masuk ke dalam CAT. Perhitungan potensi imbuhan airtanah dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu metode water balance F.J. Mock dan pendekatan debit minimum Villinger. Sedangkan zonasi potensi imbuhan didekati berdasarkan pewilayahan Thiessen. Hasil perhitungan potensi imbuhan ini kemudian dimasukan kedalam pemodelan airtanah yang telah dibuat sebelumnya oleh Dinas ESDM Jawa Barat bekerjasama dengan LPPM ITB, 2000. Pemodelan ini digunakan sebagai alat verifikasi hasil perhitungan yang juga hasil pemodelan ini diverifikasi kembali dengan data aktual pengukuran muka airtanah bulan Desember 2012. Penentuan zona dan perhitungan nilai imbuhan dari 3 (tiga) stasiun pos duga air dengan besar masing-masing imbuhan adalah (1) PDA Nanjung dengan luas 1824 km2, besar imbuhan 351 mm/th; (2) PDA Dayeuhkolot dengan luas 925 km2, besar imbuhan 308 mm/th; dan (3) PDA Majalaya dengan luas 233 km2, besar imbuhan 290 mm/th. Kondisi keseimbangan air di Bandung dan sekitarnya menunjukkan bahwa infiltrasi pada bulan Juli hingga September terjadi sangat kecil dikarenakan kecilnya curah hujan sedangkan evapotranspirasi terus terjadi. Persentase infiltrasi dari curah hujan metode Mock berkisar antara 10%-20%. Hasil verifikasi pemodelan yang dibandingkan dengan data pengukuran MAT aktual (Desember 2012) menunjukkan bahwa pada dasarnya penurunan MAT model mengikuti pola naik turunnya MAT hasil pengukuran. Gambaran kondisi ini dianalisis berdasarkan perbandingan kontur MAT aktual dan kontur MAT hasil model. Mean squared error antara muka airtanah terukur dan muka airtanah model untuk 216 titik pengamatan pada penelitian ini adalah 5,51 m.