Water Treatment Plant (WTP) konvensional merupakan instalasi pengolahan air yang menggunakan sistem koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan disinfeksi melalui proses pembubuhan koagulant pada air baku tawar dengan polutan koloidal. WTP konvensional sampai saat ini merupakan sistem yang paling banyak dipergunakan, baik di Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia dari kapasitas terpasang sistem air bersih 110.000 liter/detik, 80.000 liter/detik dari keseruhan kapasitas tersebut masih menggunakan WTP konvensional.Permasalahan yang dijumpai pada WTP konvensional di Indonesia ialah bahwa umumnya WTP hanya dapat mengolah air bersih antara 65-70% dari sistem kapasitas disain. Hal ini terlihat dari hasil flokulasi dimana pembentukan floc tidak optimal dan tingkat kekeruhan dari hasil pengendapan sedimentasi masih tinggi. Waktu detensi sistem flokulasi WTP konvensional yang pada umumnya berdasarkan kriteria disain antara 20-30 menit. Sedangkan bila uji pengolahan air baku dilakukan dengan menggunakan jar test, floc optimal dapat dihasilkan dengan waktu detensi antara 5-10 menit. Perbedaan waktu detensi tersebut perlu menjadi perhatian agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.Proses koagulasi merupakan pencampuran cepat antara air baku koloidal dengan koagulan (Alum, Ferry chloride, PAC), yang merupakan proses destabilisasi dari gerak brownian partikel koloidal. Sedangkan proses flokulasi merupakan proses lanjutan dari proses koagulasi dimana partikel koloid(-) dan koagulan(+) saling mendekat dan menempel (forming a chemical bond), selanjutnya membentuk kumpulan floc yang semakin membesar, menggumpal atau agregasi antara partikel mikro floc dengan partikel koloid, dan dengan sesama partikel floc. Pada proses flokulasi dimana agregasi partikel koloidal terbentuk menjadi floc optimum, hal ini dipengaruhi oleh gerak brownian, kecepatan aliran (gradient velocity G) dan break-up.Proses flokulasi merupakan inti, dari serangkaian tahapan proses pengolahan air pada suatu WTP konvensional, dimana bila pembentukan floc optimal, yaitu bila seluruh partikel koloid akan menggumpal sempurna membentuk floc yang padat dan cepat mengendap, sehingga efluent dari sistem clarifier atau sistem sedimentasi menghasilkan tingkat kekeruhan yang rendah. Dengan demikian clogging yang terjadi dan run time sistem kerja filter menjadi lebih panjang. disamping hal tersebut waktu pencucian media filter atau back wash akan menjadi lebih pendek.Micro hydraulic flokulasi merupakan proses flokulasi dimana hidrodinamika kecepatan aliran ditinjau dalam tiga dimensi. Kecepatan aliran merupakan parameter utama yang menentukan besaran gradient velocity untuk menghasilkan pembentukan floc yang optimum. Teori dan formulasi gradient velocity (G) mengacu pada hasil penelitian von Smoluchowski (1917) dan (Camp-Stein, 1943), yaitu peneliti-peneliti yang pertama kali merumuskan proses koagulasi dan flokulasi, yang banyak dipakai sebagai acuan sampai saat ini. Kajian gradient velocity pada proses flokulasi, dilakukan melalui model fisik (reaktor pilot plant) dan model matematika computer fluid dynamicss (CFD-Fluent). Eksperimen proses flokulasi melalui reaktor pilot plant dilakukan melalui debit dan dosis optimum.Sistem aliran reaktor flokulasi mengunakan aliran tangensial dengan aliran naik atau turun yang dilengkapi pengarah aliran baffle secara bertingkat. Pengukurun langsung kecepatan aliran tiga dimensi pada tabung reaktor vertikal, dengan menggunakan Acoustic Doppler Velocitymeter (ADV-Nortek) merupakan hal yang baru dengan tingkat kesulitan tinggi. Pengukuran ini menggunakan tabung reaktor berdiameter 200 mm dan tinggi 3.4 m, yang memerlukan teknik dan peralatan khusus untuk mengukur kecepatan aliran. Laser Doppler Velocitymeter (LDV) tidak dapat dipergunakan dalam pengukuran tersebut, karena permukaan tabung tidak rata. Demikian juga halnya dengan current meter tidak dapat dipergunakan, karena akan mengganggu aliran dan dimensi alat tersebut.Penelitian dilakukan melalui percobaan menggunakan reaktor pilot plant flokulasi, yang dibuat khusus di laboratorium Water Technology, Delft University of Technology, the Netherlands. Kajian sistem flokulasi tersebut menggunakan sumber air baku Kanal Delft. Kondisi kekeruhan air baku antara 100-300 NTU, pH antara 7-8, temperatur minimum 6 oCelsius. Pengukuran kecepatan aliran dilakukan pada debit 500 liter/jam dan terjadinya pembentukan floc optimum. Titik pengukuran dilakukan pada tiga lokasi plan cut, yaitu pada elevasi +30 cm, +110 cm, dan +180 cm dari dasar tabung. Pada setiap plane cut dibuat grid titik pengukuran dengan selang 20 mm. Plane cut 1 pada proses terjadinya koagulasi dengan Td = 0.85 menit. Plane cut 2 pada proses awal pembentukan floc dengan Td = 0.34 menit. Plane cut 3 pada proses pembentukan floc dengan Td = 3.12 menit. Efluent reaktor flokulasi pada Td= 8.1 menit.Verifikasi kecepatan aliran hasil model CFD dilakukan melalui perbandingan profil kecepatan dari hasil pengukuran ADV dan CFD pada tiga plane cut yang setara. Hubungan gradient velocity terhadap Td diperoleh dari kecepatan aliran hasil pengukuran ADV dan CFD. Hasil pola grafik hubungan antara gradient velocity dan Td menunjukkan bahwa pada kondisi sub-tropis grafik eksponensial menurun lebih curam dan Td lebih panjang, sedangkan pada kondisi tropis grafik lebih landai dan Td lebih pendek. Proses flokulasi optimum terjadi pada aliran laminer dengan bilangan Reynolds antara 200-2000. Karakteristika profil kecepatan aliran pada pembentukan floc optimum dapat diketahui, yang digambarkan melalui hubungan G dan Td. Sistem micro hydraulic flokulasi optimum dengan Td 8-10 menit, dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kapasitas sistem WTP yang ada, dan mini reaktor koagulasi dan flokulasi dapat dipertimbangkan sebagai pengganti fungsi alat jar test dan dapat dikaji dalam penelitian selanjutnya.