Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, dengan intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar 4,8 kWh/m² per hari. Perencanaan dan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya merupakan salah satu inisiatif utama pemerintah dalam mendukung visi nasional Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060. Provinsi Sumatera Barat memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar, di mana energi surya menjadi sumber paling menjanjikan dengan estimasi potensi mencapai 5,9 GW. Penerapan teknologi PLTS terapung menjadi salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan dengan memanfaatkan wilayah perairan seperti waduk dan danau sebagai lokasi instalasi. Danau Singkarak, yang merupakan salah satu danau terbesar di Sumatera Barat, menawarkan lokasi yang strategis untuk pengembangan PLTS terapung. Dengan luas permukaan air yang cukup besar, pembangunan PLTS di danau ini tidak hanya mengurangi kebutuhan akan lahan darat, tetapi juga memberikan manfaat tambahan seperti mengurangi laju penguapan air dan membantu menjaga kelestarian ekosistem di sekitarnya. Untuk mengoptimalkan implementasi proyek PLTS terapung di Danau Singkarak, Sumatera Barat, telah diajukan tiga skenario dengan kapasitas terpasang yang berbeda, yaitu: Skenario 1 dengan kapasitas 118 MWp/93 MW, Skenario 2 dengan kapasitas 239 MWp/186 MW, dan Skenario 3 dengan kapasitas 357MWp/277 MW.
Studi teknis dan ekonomis secara menyeluruh dilakukan untuk menganalisis ketiga skenario tersebut. Berdasarkan hasil simulasi menggunakan PVsyst terhadap ketiga skenario yang direncanakan, skenario tiga menghasilkan produksi energi tertinggi, yaitu sebesar 483.785.295 kWh, dengan nilai performance ratio mencapai 81% dan juga Berdasarkan hasil simulasi analisis keekonomian menggunakan aplikasi PVsyst, skenario 3 menunjukkan hasil paling optimal. Skenario ini memiliki nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp 733.424.366.361, dengan Payback Period (PP) selama 11,2 tahun, Internal Rate of Return (IRR) sebesar 12,91%, Return on Investment (ROI) sebesar 21,1%, serta Levelized Cost of Electricity (LCoE) sebesar Rp 824,36/kWh. Akan tetapi, pada saat dilakukan simulasi ramp down dan ramp up pada DIgSILENT dengan penurunan daya 80%, frekuensi turun lebih jauh ke 49,18 Hz, dan pada ramp down 100%, tercatat penurunan maksimum hingga 49,05 Hz. Pada saat disimulasikan pada kondisi ramp down dan ramp up kembali dengan 80% dan 100%, DIgSILENT membaca ada ketidakstabilan sistem pada sistem Sumatera dikarenakan terjadinya beberapa GI trip melepaskan beban dengan kondisi relay UFR bekerja yang disebabkan kondisi frekuensi mencapai 49,18 Hz dan 49,05 Hz.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Skenario 2 merupakan pilihan terbaik karena menghasilkan energi lebih besar dibandingkan Skenario 1, yaitu sebesar 323.974.764 kWh. Dari sisi keekonomian, skenario ini juga menunjukkan hasil yang unggul, dengan nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp 488.592.823.565, Payback Period (PP) selama 11,2 tahun, Internal Rate of Return (IRR) sebesar 12,89%, Return on Investment (ROI) sebesar 20,9%, serta Levelized Cost of Electricity (LCoE) sebesar Rp825,21/kWh lebih baik dibandingkan nilai-nilai keekonomian pada Skenario 1. Dari hasil simulasi sistem, Skenario 2 juga menunjukkan kinerja yang andal. Sistem tetap stabil meskipun dilakukan simulasi ramp down dan ramp up dalam kondisi terburuk, yakni ketika seluruh produksi energi (100%) hilang secara tiba-tiba. Dalam kondisi ini, frekuensi terendah yang tercatat adalah 49,31 Hz, dan tidak menyebabkan ketidakstabilan sistem. Hal ini berbeda dengan Skenario 3, yang pada simulasi ramp down dan ramp up sebesar 80% dan 100% justru memicu ketidakstabilan sistem yang berakibat beberapa Gardu Induk (GI) mengalami trip karena bekerja nya proteksi Under Frequency Relay (UFR).
Sebagai tambahan objek penelitian, dilakukan simulasi kestabilan sistem terhadap PLTS terapung dengan kapasitas sebesar 50% dari total kapasitas pembangkit fosil di Sumatera Barat, yaitu sebesar 227 MW, menggunakan aplikasi DIgSILENT. Hasil simulasi ramp down dan ramp up pada tingkat penurunan daya 20%, 50%, 80%, dan 100% menunjukkan bahwa sistem masih dalam kondisi stabil untuk penurunan daya sebesar 20% (frekuensi 49,81 Hz), 50% (49,59 Hz), dan 80% (49,32 Hz). Namun, saat dilakukan simulasi ramp down dan ramp up sebesar 100%, terjadi trip pada beberapa Gardu Induk (GI) akibat terjadinya penurunan frekuensi hingga 49,18 Hz, yang memicu aktifnya proteksi UFR (Under Frequency Relay).
Perpustakaan Digital ITB